Jumat, 27 Januari 2012

PERINGATAN MAULID NABI

PERINGATAN MAULID NABI
Ust. Asy`ari Masduki, MA

Sejarah Peringatan Maulid Nabi
Peringatan Maulid Nabi pertama kali dilakukan oleh raja Irbil; Muzhaffaruddin al Kawkabri pada awal abad ke 7 H. Ibnu Katsir dalam kitab Tarikhnya berkata: “Raja Muzhaffar mengadakan peringatan maulid Nabi pada bulan Rabi’ul Awwal dan beliau merayakannya secara besar-besaran. Beliau adalah seorang pemberani, pahlawan, alim dan adil –semoga Allah merahmatinya.” Dijelaskan oleh Sibth (cucu) Ibnu al Jawzi bahwa dalam peringatan tersebut beliau mengundang seluruh rakyatnya dan seluruh para ulama dalam berbagai disiplin ilmu, baik ulama fiqh, hadits, kalam, ushul, tasawwuf dan lainnya. Sejak tiga hari sebelum hari pelaksanaan beliau telah melakukan persiapan, ribuan kambing dan unta disembelih untuk hidangan para tamu yang akan hadir.
Seluruh  para ulama ketika itu membenarkan apa yang dilakukan oleh raja dan mereka menganggap baik perayaan maulid Nabi yang untuk pertama kalinya digelar. Ibnu Khallikan dalam kitab “Wafayat al A’yan”  menerangkan bahwa al Hafizh Ibnu Dihyah datang dari Maroko menuju Syam untuk selanjutnya menuju Irak, ketika melintasi daerah Irbil pada tahun 604 H, ia mendapati Raja Irbil sangat besar perhatiannya terhadap perayaan Maulid Nabi, karenanya ia menulis sebuah buku maulid yang diberi nama  “at-Tanwir fi Maulid al Basyir an-Nadzir” dan dihadiahkan kepada raja.
Para ulama ketika itu dan setelahnya sampai sekarang menganggap bahwa perayaan maulid Nabi adalah sesuatu yang baik, diantaranya al Hafizh Ibnu Dihyah (W. 633 H), al Hafizh al 'Iraqi (W. 806 H), Al Hafizh Ibnu Hajar al 'Asqalani (W. 852 H), al Hafizh as-Suyuthi (W. 911 H), al Hafizh as-Sakhawi (W. 902 H), Syekh Ibnu Hajar al Haytami (W. 974 H), dan masih banyak lagi yang lain. Bahkan Imam as-Suyuthi menulis karangan khusus tentang maulid yang berjudul “Husnu al Maqsid fi ‘Amal al Maulid.” Maka semenjak saat  itulah perayaan maulid Nabi menjadi tradisi ummat Islam di seluruh belahan dunia setiap bulan Rabi’ul Awwal.
Hukum Peringatan Maulid Nabi
Peringatan maulid Nabi Muhammad dengan membaca ayat al Qur'an dan menyebutkan sifat-sifat nabi yang mulia, ini adalah perkara yang penuh berkah dan kebaikan yang agung. Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa perayaan maulid Nabi mulai dilakukan pada permulaan abad ke 7 H, ini berarti kegiatan ini tidak pernah dilakukan oleh Nabi, para sahabat dan generasi salaf. Meskipun demikian tidak berarti perayaan Maulid Nabi dilarang atau haram karena sesuatu yang tidak dilakukan Nabi belum tentu bertentangan dengan ajaran Nabi. Dalam kasus perayaan maulid Nabi para ulama menggolongkannya ke dalam  bid’ah hasanah (perkara baru yang selaras dengan al Qur’an dan tidak bertentangan dengannya).
Dalil-Dalil Peringatan Maulid Nabi
1.    Peringatan Maulid Nabi masuk dalam hadits Nabi shallallahu 'alayhi wasallam:
"مَنْ  سَنَّ  فيِ  اْلإِسْـلاَمِ  سُنَّةً  حَسَنـَةً  فَلَهُ  أَجْرُهَا وَأَجْرُ  مَنْ  عَمِلَ  بِهَا بَعْدَهُ  مِنْ  غَيْرِ  أَنْ يَنْقُصَ مِنْ  أُجُوْرِهِمْ  شَىْءٌ"
Maknanya: Barang siapa yang memulai dalam Islam sebuah perkara yang baik maka ia akan mendapatkan pahala perbuatan tersebut dan pahala orang yang mengikutinya setelahnya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun.” (H.R. Muslim dalam shahihnya).
Hadits ini memberikan keleluasaan kepada ulama ummat Muhammad untuk merintis perkara-perkara baik yang tidak bertentangan dengan al Qur'an, Sunnah, Atsar maupun Ijma'. Peringatan maulid Nabi adalah perkara baru yang baik dan tidak menyalahi satu-pun di antara dalil-dalil tersebut, berarti hukumnya boleh, bahkan berpahala. Jika ada orang yang mengharamkan peringatan Maulid Nabi, berarti  telah mempersempit keleluasaan yang telah Allah berikan kepada hamba-Nya untuk melakukan perbuatan-perbuatan baik yang belum pernah ada pada masa Nabi.
2.    Hadits riwayat al Bukhari dan Muslim bahwa ketika Nabi tiba di Madinah, beliau mendapati orang-orang Yahudi berpuasa pada hari 'Asyura', lalu Rasulullah bertanya kepada mereka, dan mereka menjawab: "Hari ini adalah hari ditenggelamkannya Fir'aun dan diselamatkannya Nabi Musa, jadi kami berpuasa di hari ini karena bersyukur kepada Allah.” Lalu Rasulullah bersabda:
"فَأَنَا أَحَقُّ بِمُوْسَى عَلَيْهِ السَّلاَمُ مِنْكُمْ، فَصَامَهُ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ".
“Aku lebih berhak terhadap Musa daripada kalian.” Lalu beliau berpuasa dan memerintahkan untuk berpuasa.
Diambil faedah dari hadits ini bahwa dianjurkan untuk melakukan perbuatan syukur kepada Allah pada hari tertentu atas nikmat yang Allah berikan, berupa memperoleh nikmat atau diselamatkan dari bahaya. Dan perbuatan syukur tersebut diulang pada hari yang sama setiap tahunnya. Bersyukur kepada Allah bisa dilakukan dalam bentuk-bentuk ibadah seperti sujud syukur, berpuasa, sedekah, membaca al Qur'an dan semacamnya. Kelahiran Nabi adalah nikmat yang sangat besar, tidak ada nikmat yang lebih agung dari dilahirkannya Nabi pada hari itu, Nabi yang dengannya Allah menyelamatkan kita dari jalan kesesatan.
3.    Hadits riwayat Imam Muslim bahwa Rasulullah ditanya tentang puasa hari Senin, maka beliau menjawab:
"ذلِكَ يَوْمٌ وُلِدْتُ فِيْهِ...".
“Hari itu adalah hari di mana aku dilahirkan.” (H.R. Muslim)
Hadits ini menunjukkan bahwa Rasulullah melakukan puasa Senin karena bersyukur kepada Allah bahwa pada hari itu beliau dilahirkan. Ini adalah isyarat dari Nabi bahwa sebagaimana pada hari senin beliau berpuasa karena bersyukur kepada Allah atas kelahiran beliau pada hari itu, demikian juga pada tanggal kelahiran beliau kita melakukan perbuatan syukur dengan membaca al Qur'an, membaca kisah kelahirannya dan bersedekah. Karena puasa Senin diulang setiap minggunya, berarti peringatan maulid juga diulang setiap tahunnya.
Fatwa Beberapa Ulama Ahlussunnah
1.    Imam al Hafizh Ahmad ibnu Hajar al 'Asqalani, beliau mengatakan:“Asal peringatan maulid adalah bid'ah yang belum pernah dinukil dari as-Salaf as-Saleh pada tiga abad pertama, tetapi meski demikian peringatan maulid mengandung kebaikan dan lawannya, jadi barangsiapa dalam peringatan maulid berusaha melakukan hal-hal yang baik saja dan menjauhi lawannya; hal-hal yang buruk, maka itu adalah bid'ah hasanah,” Al Hafizh Ibnu Hajar juga mengatakan: “Dan telah nampak bagiku memasukkan peringatan Maulid ke dalam dalil yang tsabit (sahih).”
2.    Imam al Hafizh as-Suyuthi, beliau mengatakan dalam risalahnya Husnu al Maqshid Fi 'Amal al Maulid: “Menurutku: pada dasarnya peringatan maulid; berupa berkumpulnya orang, membaca al Qur'an, meriwayatkan hadits-hadits tentang permulaan sejarah Nabi dan tanda-tanda yang mengiringi kelahirannya, kemudian disajikan hidangan lalu dimakan dan bubar setelahnya tanpa ada tambahan-tambahan lain, adalah termasuk bid'ah hasanah yang pelakunya akan memperoleh pahala, karena itu merupakan perbuatan mengagungkan Nabi dan menampakkan rasa gembira dan suka cita dengan kelahiran Nabi yang mulia. Orang yang pertama kali merintis peringatan maulid ini adalah penguasa Irbil, Raja al Muzhaffar Abu Sa'id Kawkabri ibnu Zainuddin ibnu Buktukin, salah seorang raja yang hebat, agung dan dermawan. Beliau memiliki peninggalan dan jasa-jasa yang baik, dan dialah yang membangun al Jami' al Muzhaffari di lereng gunung Qasiyun.”
al Hafizh as-Sakhawi seperti disebutkan dalam al Ajwibah al Mardliyyah (3/1116-1120): “Peringatan Maulid Nabi belum dilakukan oleh seorang-pun dari as-Salaf as-Saleh pada tiga abad pertama yang mulia, melainkan terjadi kemudian. Dan ummat Islam di semua daerah dan kota-kota besar senantiasa mengadakan peringatan Maulid Nabi pada bulan kelahiran beliau r. Mereka mengadakan jamuan-jamuan makan yang luar biasa dan diisi dengan hal-hal yang menggembirakan dan baik. Pada malam harinya, mereka mengeluarkan berbagai macam sedekah, mereka menampakkan kegembiraan dan suka cita. Mereka melakukan kebaikan-kebaikan lebih dari biasanya. Mereka bahkan meramaikan dengan membaca buku-buku maulid. Dan nampaklah keberkahan Nabi dan Maulid secara merata. Dan ini semua telah teruji.” Kemudian as-Sakhawi mengatakan: “Tanggal kelahiran Nabi menurut pendapat yang paling sahih adalah malam Senin, tanggal 12 bulan Rabi'ul Awwal, dan menurut suatu pendapat: Malam tanggal 2, 8, 10 dan masih ada pendapat-pendapat lain. Oleh karenanya tidak mengapa melakukan kebaikan kapanpun pada hari-hari dan malam-malam ini sesuai dengan kesiapan yang ada, bahkan baik jika dilakukan pada hari-hari dan malam-malam bulan Rabi'ul Awwal seluruhnya.”

0 komentar:

Posting Komentar