FAKTOR
PENYEBAB MUNCULNYA EKSTRIMISME DALAM
BERAGAMA (2)
(Dirangkum
dari materi Seminar Internasional Remas An Nuur oleh al Syaikh al Habib
Khalil Dabbagh al Hasani dari Global University Bairut Lebanon)
Faktor penyebab kemunculan ekstrimisme bukan hanya satu, tetapi sangat
banyak. Selain faktor agama, juga ada faktor individu, sosial, sejarah dan
politik, dan seluruhnya saling terkait satu dengan lainnya. Berikut ini adalah faktor-faktor
agama yang mendorong munculnya ekstrimisme:
1. Pemahaman yang tidak benar terhadap ajaran agama Islam, baik dalam
masalah akidah maupun hukum-hukum Islam. Sehingga pemahaman tersebut bertentangan
dengan akidah Ahlussunnah waljama’ah yang dianut Rasulullah -shallallahu
‘alaihi wasallam- dan para sahabatnya yang mulia.
2. Kurang adanya kemampuan dalam memahami hukum-hukum syara’ dan lemahnya
sosialisasi hukum-hukum syara’ tesebut di masyarakat.
3. Hilangnya peran ilmu yang moderat dari para ulama untuk membungkam
pemikiran ekstrim. Tugas para ulama adalah menjaga Negara dan para pemuda dari
pemikiran-pemikiran ekstrim dengan ilmu agama. Namun pada masa sekarang tugas
ini banyak ditinggalkan oleh para ulama, mereka berpindah mengurus hal-hal yang
bukan menjadi tugas mereka seperti mengurus politik, ekonomi dan lainnya.
4. Tidak ada perhatian yang serius terhadap pendidikan agama Islam di
sekolah-sekolah dan perguruan tinggi dan juga dalam kurikulum pembelajarannya.Pembelajaran
agama hanya dijadikan sebagai materi sampingan, dan bahkan terkadang tidak
dicantumkan dalam jadual pelajaran.
5. Kebodohan terhadap bahasa arab yang menjadi kunci pemahaman terhadap
nash-nash syara’. Kebodohan terhadap bahasa arab menyebabkan kebodohan terhadap
hukum-hukum syara’. Karena sumber-sumber hukum syara’ seluruhnya menggunakan
bahasa arab.
6. Klaim dan rumor yang disebarkan oleh para ekstrimis bahwa para ulama adalah
antek-antek pemerintah, mereka digaji oleh pemerintah. Dari sini, menurut
mereka tidak layak lagi bagi kita untuk mengikuti para ulama atau mempercayai
perkataan mereka. Akibat dari rumor ini kemudian kemulian para Kyai dan ulama
menjadi pudar, kata-katanya tidak lagi didengar oleh ummat. Jauhnya ummat dari
para ulamanya mempermudah para ekstrimis untuk memasukkan pemikiran-pemikiran
ekstrimnya pada para pemuda Islam.
7. Memahami ayat- ayat al Qur’an dengan makna-makna yang tidak sesuai dengan
al Qur’an dan sunnah. Para ekstrimis mengklaim berdasarkan ayat al Qur’an yang
mereka plintir maknanya; bahwa masyarakat yang hidup pada suatu daerah tertentu
tidak ada yang mukmin, apabila mereka mukmin kenapa turun bala dan musibah pada
daerah itu?! Bukankan disebutkan dalam firman Allah ta’ala:
öqs9ur ¨br& @÷dr& #tà)ø9$# (#qãZtB#uä (#öqs)¨?$#ur $uZóstGxÿs9 NÍkön=tã ;M»x.tt/ z`ÏiB Ïä!$yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur `Å3»s9ur (#qç/¤x. Mßg»tRõs{r'sù $yJÎ/ (#qçR$2 tbqç7Å¡õ3t ÇÒÏÈ
Maknanya:
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah kami
akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka
mendustakan (ayat-ayat kami) itu, Maka kami siksa mereka disebabkan
perbuatannya”(Q.S al A’raf: 96)
8. Ketaatan buta orang-orang yang bodoh terhadap pemimpin mereka, tanpa
merenungkan halal dan haram. Mereka mengatakan bahwa pemimpinnya atau gurunya
seperti Nabi; tidak pernah sekalipun melakukan kesalahan dan dosa.
9. Kerancauan dalam memahami hakikat al amru bil ma’ruf wa an nahyu
‘an al munkar. Karena al amru bil ma’ruf wa an nahyu ‘an al munkar dalam
Islam memiliki kaidah-kaidah dalam syara’ yang harus diterapkan.
10.
Menafsirkan nash-nash
syara’ dengan penafsiran yang bertentangan dengan maksud yang sebenarnya,
karena kesesatan dalam hati dan hawa nafsu.
11.
Tidak talaqqi
(belajar langsung) ilmu agama yang benar dengan metode yang benar dari para
ulama yang dapat dipercaya.
Para
pemuda harus memastikan bahwa pemahaman hukum-hukum agamanya berasal dari
orang-orang yang memiliki pengetahuan dan pemahaman, yang telah belajar
ilmu-ilmu yang bermanfaat berdasarkan ushul (kaidah-kaidah) yang mu’tabarah
(diakui) menurut ahli ilmu. Setiap ilmu ada ahlinya, setiap disiplin ilmu ada
para pakarnya. Al Qur’an telah mengajarkan kepada kita dalam persoalan yang
tidak kita ketahui, untuk kembali dan bertanya kepada para ulama yang ahli ilmu
dan pengetahuan. Allah tabaraka wata’ala berfirman:
!(#þqè=t«ó¡sù @÷dr& Ìò2Ïe%!$# bÎ) óOçFZä. w cqßJn=÷ès? ÇÐÈ
Maknanya:
“Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui”
(Q.S al Anbiya: 7)
Pada
masa sekarang, kita sering melihat orang-orang yang ceroboh dalam berfatwa,
mereka berfatwa tanpa didasarkan pada ilmu. Mereka mengeluarkan hukum-hukum
dalam masalah-masalah seperti akidah Islam, tanpa memiliki keahlian untuk
berfatwa, sehingga terkadang fatwanya tersebut bertentangan dengan ijma’ para
ulama dahulu dan sekarang. Dan terkadang lebih dari itu, dia menyalahkan orang
lain dan membodoh-bodohkan mereka dengan klaim bahwa dia tidak bertaqlid dan
dia memiliki hak untuk berijtihad dan bahwa pintu ijtihad terbuka untuk semua
orang.
Bahwa
pintu ijtihad itu terbuka adalah sesuatu yang benar, akan tetapi ijtihad
memiliki syarat-syarat yang tidak dimiliki oleh orang yang mengklaim ijtihad
ini meski hanya satu syarat dari syarat-syarat tersebut.
Bersambung…