Masjid Agung AN NUUR Kab. Kediri

Assalamu`alaikum Warohmatullahi Wabarakatuh

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Jumat, 26 Agustus 2011

Zakat Fitrah

Zakat Fitrah
Ust. Asy`ari Masduki, MA 

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh al Baihaqi dengan sanad yang para perowinya tsiqah (terpercaya) dijelaskan bahwa puasa seseorang menggantung antara langit dan bumi selama belum dibayar zakat fitrahnya. Ini tidak berarti bahwa apabila tidak dibayar zakat fitrahnya maka puasa seseorang sama sekali tidak diterima oleh Allah ta’ala, melainkan yang dimaksud adalah bahwa puasa tersebut tidak mendapat pahala dengan derajat yang tinggi (pahala yang sempurna).
Zakat fitrah adalah zakat yang wajib dikeluarkan oleh setiap muslim, baik untuk dirinya sendiri atau untuk orang yang wajib ia beri nafkah (ia tanggung biaya hidunya), seperti orang tuanya yang fakir, istri dan anaknya yang belum baligh. Zakat fitrah wajib dikeluarkan jika seseorang mempunyai harta lebih dari kebutuhan sandang, papan, makanan pokoknya dan makanan pokok orang-orang yang wajib ia nafkahi pada hari raya dan malam hari raya dan juga ada kelebihan untuk membayar hutangnya. Ukuran makanan pokok yang wajib dikeluarkan zakat fitrah nya adalah satu Sha’ atau 4 Mud (sekitar +- 2.5 kg).
Dalam mengeluarkan zakat, diwajibkan untuk berniat ketika memisahkan kadar zakat yang akan ia keluarkan. Sebagai contoh, ketika ia memisahkan kadar zakat untuk dirinya dalam hati ia berniat: “ini zakatku”. Adapun jika ia ingin mengeluarkan zakat fitrah anaknya yang sudah baligh, maka diharuskan untuk meminta izin terlebih dahulu kepada si anak tersebut. Apabila tidak demikian, maka zakat tersebut tidak sah, karena anak yang sudah baligh secara hukum fikih, nafkah (biaya hidupnya) bukan lagi menjadi kewajiban orang tuanya. Hal ini sangat penting untuk diperhatikan, mengingat kebanyakan orang cenderung mengabaikannya.
Zakat fitrah wajib bagi orang yang mendapati bagian dari bulan Ramadhan dan Syawal. Bayi yang lahir setelah matahari terbenam pada akhir bulan Ramadhan (tidak mendapati bagian dari bulan Ramadhan) atau lahir pada bulan Ramadhan dan mati sebelum terbenamnya matahari pada hari terakhir pada bulan Ramadhan maka tidak wajib dikeluarkan zakatnya.
Waktu mengelurkan zakat fitrah dimulai dari awal Ramadhan hingga terbenamnya matahari pada hari raya. Jika dikeluarkan setelah matahari terbenam pada hari raya tanpa ada udzur maka hukumnya haram. Adapun yang paling utama adalah dikeluarkan pada pagi hari raya sebelum shalat ‘Id (hukumnya sunnah). Dan apabila dikeluarkan setelah shalat ‘id (hari raya) maka hukumnya adalah makruh.
Orang-orang yang berhak menerima zakat fitrah
Orang-orang yang berhak menerima zakat fitrah adalah  orang-orang yang juga berhak menerima zakat-zakat yang lain, mereka telah disebut oleh Allah dalam firmannya:
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَاْلَمسَاكِيْنَ وَاْلعَامِلِيْنَ عَلَيْهَا وَاْلُمؤَلَّفَةِ قُلُوْبُهُمِ وَفِي الرِّقَابِ وَاْلغَارِمِيْنَ وَفِي سَبِيْلِ اللهِ وَابْنِ السَّبِيْلِ
Maknanya: “sesungguhnya zakat-zakat itu hanya untuk orang-orang:
1.       Fakir; orang yang tidak bekerja atau bekerja tetapi hasilnya tidak mencapai separuh dari kebutuhannya seperti orang yang sehari membutuhkan Rp. 10.000 akan tetapi ia hanya dapat menghasilkan Rp. 4.000.
2.       Miskin; orang yang hanya bisa memenuhi separuh kebutuhannya. seperti orang yang dalam sehari membutuhkan Rp.10.000 tetapi dia hanya bisa memenuhi Rp. 8.000 atau Rp. 7.000
3.       Amil; orang yang ditunjuk khalifah atau sulthan dengan tanpa diberi gaji dari baitul mal (kas Negara) untuk mengambil (menerima) dan membagikan zakat. Dikarenakan tidak adanya khalifah di masa sekarang, maka amilpun menjadi tidak ada. Adapun panitia yang biasanya dibentuk di setiap kampung mereka bukanlah amil yang menurut syara’ yang berhak mendapatkan zakat. Namun jika mereka tergolong fakir atau miskin atau termasuk orang-orang yang berhak menerima zakat (selain amil), mereka boleh menerima bagian zakat atas nama golongan-golongan tersebut. Jadi status mereka hanyalah wakil dari orang-orang yang mengeluarkan zakat (untuk menyalurkannya ke tangan mereka yang berhak menerimanya).
4.       Al muallafatu qulubuhum; seperti orang yang baru masuk Islam dan niatnya masih lemah. Mereka diberi bagian zakat supaya niat masuk Islamnya menjadi kuat. Atau mereka adalah orang-orang yang terpandang di antara kaumnya, dengan diberikannya zakat kepada mereka diharapkan orang-orang semacam mereka yang masih kafir tertarik untuk masuk Islam.
5.       Riqab; budak mukatab yakni hamba sahaya yang memiliki perjanjian dengan tuannya jika dia bisa membayar uang dengan jumlah tertentu maka ia merdeka. Keberadaan budak saat ini sangat jarang dijumpai kecuali di beberapa tempat seperti di Mauritania (kebanyakan para budak di sana sudah tidak lagi diperjual belikan layaknya budak-budak zaman dahulu)
6.       Gharim; orang yang berhutang bukan untuk digunakan dalam kemaksiatan dan tidak mampu melunasinya pada waktunya (sudah jatuh tempo).
7.       Fi sabilillah; yaitu orang yang berperang di medan pertempuran melawan orang-orang kafir tanpa mendapatkan gaji sepeserpun dari khalifah atau penguasa (pejuang suka relawan)
8.       Ibnu Sabil; musafir yang kehabisan bekal untuk bisa sampai ke tujuannya

Forum Tanya Jawab
1.       Bolehkan zakat diberikan untuk pembangunan masjid?
Secara umum, sabilillah dapat diartikan dengan segala amal kebajikan yang bertujuan untuk menghidupkan ruh Islam. Akan tetapi dalam masalah zakat, para ulama mendefinisikannya hanya dalam satu pengertian, yaitu orang yang berperang di medan pertempuran melawan orang-orang kafir tanpa mendapatkan gaji sepeserpun dari khalifah atau penguasa (pejuang suka relawan).
Adapun penafsiran sebagian orang bahwa pembangunan rumah sakit, masjid atau madrasah dan aktivitas lain yang baik seperti mengajar adalah masuk ke kategori  sabilillah yang berhak menerima (mengambil) bagian dari zakat, maka hal ini tidak dapat dibenarkan dengan berbagai alasan sebagai berikut:
1.       Tidak satupun di antara ulama salaf, imam mujtahid atau yang setingkat dengan mereka mengatakan bahawa sabilillah dalam hal zakat adalah mencangkup semua amal kebaikan
2.       Pendapat tersebut muncul dari orang-orang yang belum memenuhi syarat-syarat ijtihad
3.       Pendapat tersebut menyalahi perkataan imam malik: “jalan menuju Allah sangatlah banyak, tetapi aku tidak menjumpai ikhtilaf (perbedaan pendapat diantara para ulama) bahwa yang dimaksud sabilillah di sini (dalam hal zakat) adalah berkaitan dengan peperangan (Ibnu al Arabiy al Maliki, Ahkam al Qur’an)
4.       Adanya ijma’ (konsensus para pakar tafsir) bahwa yang dimaksud sabilillah dalam ayat tersebut adalah para pejuang sukarelawan. Hal ini dapat ditelaah dalam kitab-kitab tafsir mu’tabar seperti al Bahr al Muhith atau an Nahr al Mad karya Abu Hayyan, at Tafsir al Kabir karya ar Raziy, az Zad al masiir karya al Hafidz Ibnu al Jauzi, tafsir al Baidhawi, tafsir al Qurthubi, tafsir Ibnu ‘Athiyyah dan masih banyak lagi.
5.       Pendefinisian fisabilillah dengan para pejuang sukarelawan merupakan ijma’ para ulama yang telah dinyatakan para fuqaha (ulama fikih), mereka antara lain: imam Syafi’I dalam al Um juz VI hal. 62, imam Malik dalam al Muwatha hal 179, Muhammad Ibnu al Hasan dalam al Mudawwanah juz II, hal. 59, Ibnu Hubairah al Hanbali dalam al Ifshah hal. 108, Ibnu Qudamah dalam al Mughniy, Ibnu al Mundzir dalam al Irsyaf dan lain-lain. Hanya saja imam Ahmad ibnu Hanbal menambahkan bahwa termasuk juga fisabilillah dalam hal ini adalah haji.
Cukup sebagai dalil bahwa zakat tidak boleh diberikan kepada selain ashnaf (golongan) yang delapan sesuai  penjelasan para ulama bahwa ayat 60 dari surat at Taubah tersebut menggunakan lafdz innama (termasuk lafadz yang berfungsi hashr, yaitu terbatas pada sesuatu yang disebutkan setelahnya) yang berarti bahwa zakat hanya sah jika diberikan kepada 8 golongan tersebut. Dan seandainya zakat itu diperuntukkan bagi semua amal kebaikan maka tidak ada artinya al hashr (pembatasan) dengan lafdz tersebut. Juga sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika beliau berbicara tentang zakat:
إِنَّهَا لاَ تَحِلُّ لِغَنِيٍّ وَلاَ لِذِيْ مِرَّةٍ سَوِيٍّ
“ Sesungguhnya zakat tidak halal bagi orang kaya dan orang yang mempunyai pekerjaan yang mencukupinya” HR Abu Dawud dan al Baihaqi)
Jika zakat dibayarkan untuk membangun rumah sakit, masjid atau madrasah kemudian tempat-tempat itu dimanfaatkan oleh semua orang baik kaya maupun miskin, maka hal ini jelas bertentangan dengan hadits tersebut.

Jumat, 12 Agustus 2011

DO`A

Buletin Jum`at Edisi 15

KEAGUNGAN DO`A DALAM ISLAM

Ust. Asy`ari Masduki, MA


Allah ta’ala berfirman:
وَقَالَ رَبُّكُـمْ ٱدْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ
“Dan Tuhan kalian berfirman: Berdo’alah kalian kepadaku maka aku akan perkenankan doa kalian (Q.S Ghafir:60)

Ayat di atas adalah salah satu dari sekian banyak ayat al Qur’an yang memerintahkan umat Islam untuk senantiasa berdo’a kepada Allah ta’ala. Do’a artinya sebuah permohonan atau permintaan kepada Allah dengan disertai perendahan diri dan penghinaan diri. Do’a juga berarti penyampaian hajat atau kebutuhan seorang hamba kepada Allah, dzat yang menciptakan manfaat dan madharrat (bahaya). Do’a adalah salah satu ibadah yang paling utama. Dari an Nu’man bin Basyir, Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
الدُّعَاءُ هُوَ اْلعِبَادَةُ
“Do’a adalah ibadah”. (HR Abu Dawud)
Do’a adalah obat yang paling mujarrab (teruji) dan senjata paling ampuh bagi seorang mukmin untuk mengatasi segala kebutuhan dan menghilangkan segala kesempitan dan kesusahan. Do’a juga merupakan bentuk ekspresi dan pengakuan seorang hamba akan kelemahannya dan pengakuan bahwasanya Allah ta’ala adalah dzat yang maha kuasa, maha kaya, pencipta manfaat dan madharrat, dzat yang maha mengetahui dan maha mendengar.
Berdasarkan ayat di atas dapat dipahami pahwa seluruh do’a yang dipanjatkan oleh seorang mukmin akan dikabulkan oleh Allah. Namun bentuk terkabulnya do’a tidak selalu sesuai dengan jenis permintaan orang yang berdo’a. Terkabulnya sebuah do’a memiliki beberapa bentuk, yaitu:
1.    Terkabul sesuai dengan jenis permintaan dan waktu yang dikehendaki seorang hamba.
2.    Terkabul sesuai dengan jenis permintaan, namun terlambat dari waktu yang dikehendaki oleh seorang hamba, karena adanya hikmah dari Allah ta’ala, dzat yang maha mengatur alam semesta dan maha mengetahui.
3.    Terkabul, tetapi tidak sesuai dengan jenis permintaan seorang hamba, karena dalam sesuatu yang dimintanya tidak ada kemashlahatan (kebaikan) bagi orang tersebut, atau ada mashlahat-nya tetapi ada sesuatu yang lebih banyak mashlahat-nya bagi dia dari pada sesuatu yang dia mohonkan. Hal itu karena Allah lebih mengetahui kebaikan untuk hamba-Nya dari pada hamba itu sendiri.
       Semua bentuk terkabulnya do’a tersebut adalah terjadi sesuai dengan kehendak (masyiah) Allah ta’ala, karena do’a tidak dapat merubah kehendak (masyiah) Allah ta’ala. Masyiah/iradah (kehendak) dan taqdir (ketentuan) Allah sebagaimana juga sifat-sifat Allah yang lain adalah azaliyah abadiyah sehingga tidak dapat berubah-rubah.
     Meskipun do’a tidak dapat merubah ketentuan dan kehendak Allah, namun seorang mukmin harus tetap senantiasa memanjatkan do’a, karena seorang hamba tidak mengetahui  ketentuan dan kehendak Allah untuk dirinya, mana tahu do’a tersebut sesuai dengan kehendak dan ketentuan Allah ta’ala pada azal (keberadaan tanpapermualaan). Dan apabila ternyata do’a tersebut tidak terkabul sesuai dengan yang dikehendaki, maka dia akan tetap mendapat pahala do’a dan fadhilah (keutamaan) doanya apabila do’a tersebut dipanjatkan dengan penuh keikhlasan, sebab memanjatkan do’a adalah perintah Allah ta’ala.
Dalam sebuah hadits Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
 مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَدْعُو اللهَ بِدَعْوَةٍ لَيْسَ فِيهَا إِثْمٌ وَلا قَطِيعَةُ رَحِمٍ إِلا أَعْطَاهُ اللهُ بِهَا إِحْدَى ثَلاثٍ: إِمَّا أَنْ يُعَجِّلَ لَهُ دَعْوَتَهُ، وَإِمَّا أَنْ يَدَخِرَهَا لَهُ فِي الآخِرَةِ، وَإِمَّا أَنْ يَصْرِفَ عَنْهُ مِنَ السُّوءِ مِثْلهَا
“Tidaklah seorang mukmin berdo’a kepada Allah dengan sebuah do’a yang tidak ada di dalamnya dosa dan memutuskan silaturrahim kecuali Allah akan memberikan kepadanya salah satu dari tiga perkara: 1. adakalanya Allah mempercepat mengabulkan do’anya, 2. adakalanya Allah menyimpan do’anya itu sebagai pahala di akhirat dan 3. adakalanya Allah memalingkan keburukan darinya seperti do’anya”. (HR Ahmad dan al Hakim)
Adab-Adab Dalam Berdo’a
Di dalam memanjatkan sebuah do’a seorang hamba hendaknya menjaga adab-adab berdo’a; yaitu:
1.    Menghadap kiblat
2.    Memulai do’a dengan hamdalah
3.    Kemudian membaca shalawat nabi
4.    Kemudian menyebutkan nama-nama Allah atau sifatnya, misalnya mengatakan: Ya rabb, ya rahman, Ya Rahim, Ya malikal mulki, ya dzal jalaali wal ikram, ya hayyu ya qayyum dan seterusnya.
5.    Berdo’a dengan melirihkan suara
6.    Berdo’a dengan menengadahkan telapak tangan bagian dalam, dan mengusapkannya ke muka setelah selesai berdo’a. Rasulullah bersabda:
إِذَا دَعَوتَ اللهَ فَادْعُ بِبَاطِنِ كَفَّيْكَ وَلَا تَدْعُ بِظُهُورِهِمَا فَإِذَا فَرَغْتَ فَامْسَحْ بِهِمَا وَجْهَكَ

“Apabila kamu berdo’a kepada Allah maka berdo’alah dengan bagian dalam dua telapak tanganmu dan jangan berdo’a dengan bagian luarnya, dan apabila telah selesai maka usapkanlah keduanya pada mukamu” (HR Ibnu Majah)
7.    Berdo’a pada waktu-waktu yang mustajab. Terdapat  beberapa waktu mustajab (waktu dimana orang yang berdo’a ketika itu akan dikabulkan oleh Allah) di antaranya adalah:
a.    Pada waktu turunnya lailatul qadr (pada sebuah malam pada bulan Ramadhan)
b.    Pada setiap malam hari terutama pada sepertiga malam terakhir, karena ada penjelasan hadits bahwa para Malaikat pada sepertiga malam terakhir diperintahkan oleh Allah untuk turun ke langit bumi untuk menyereru bahwa orang yang berdo’a pada saat itu akan dikabulkan do’anya oleh Allah ta’ala.
c.     Setelah menjalankan shalat lima waktu
d.    Antara adzan dan iqamah
e.    Sesaat pada siang hari jum’at, namun tidak ada ketentuan waktu tepatnya, kerenanya sepanjang siang hari jum’at hendaknya seorang hamba memperbanyak memanjatkan do’a kepada Allah ta’ala. Meski begitu kebanyakan para ulama menjelaskan bahwa waktu mustajab berada pada waktu setelah ashar sebelum maghrib pada hari jum’at.
f.      Ketika seseorang melakukan sujud dalam shalat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
أَقْرَبُ مَا يَكُوْنُ اْلعَبْدُ مِنْ رَّبِّهِ وَهُوَ سَاجِدٌ فَاكْثِرُوا مِنَ الدُّعَاءِ فِيْهِ
“Sedekat-dekatnya seorang hamba pada rahmat tuhannya  adalah ketika rdia sedang sujud maka perbanyaklah do’a dalam sujud”
8.    Berdo’a di tempat-tempat yang mustajab
a.    Ketika melihat Ka’bah yang mulia
b.    Ketika mencium Hajar Aswad
c.     Ketika Thawaf dan Sa’iy
d.    Setelah minum air zam-zam
e.    Pada hari ‘Arafah
f.      Setelah membaca al Qur’an
g.    Setelah mengkhatamkan al Qur’an,
h.    Ketika turunnya hujan
i.      Doa orang yang didzalimi
j.      Do’a orang yang sedang musafir (sedang dalam perjalanan)
k.    Do’a orang yang berpuasa di saat berbuka puasa
l.      Do’anya seorang mukmin untuk saudaranya yang tidak di hadapannya, Rasulullah -shallalllahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
أَسْرَعُ الدُّعَاءِ إِجَابَةً عِنْدَ اللهِ دُعَاءُ غَائِبٍ لِغَائِبٍ
“Do’a yang paling cepat dikabulkan oleh Allah adalah do’anya seseorang untuk orang yang tidak berada dihadapannya”(HR al Bukhari)

Forum Tanya Jawab
1.   Apa hukum berdo’a di dekat makam Rasulullah atau para wali dengan tujuan tawassul, istighatsah dan tabarruk?
Berdo’a di dekat makam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, para nabi lainnya dan makam para wali dan orang-orang yang shalih untuk tujuan tabarruk, tawasul dan istighatsah adalah boleh. Tidak benar tuduhan kaum Wahhabiyah yang menuduh orang yang berdo’a di dekat kuburan seorang wali adalah kafir dan syirik.  al Hafizh Syamsuddin Ibnu al Jazari mengatakan dalam kitabnya 'Uddah al Hishn al Hashin, hal.20 :
وَمِنْ مَوَاضِعِ إِجَابَةِ الدُّعَاءِ قُبُوْرُ الصَّالِـحِيْنَ.
“Di antara tempat dikabulkannya doa adalah kuburan orang-orang yang saleh.”
Al Imam an-Nawawi mengatakan dalam kitabnya al Adzkaar (hal. 168):
وَيُسْتَحَبُّ الإِكْثَارُ مِنَ الزِّيَارَةِ، وَأَنْ يُكْثِرَ الوُقُوْفَ عِنْدَ قُبُوْرِ أَهْلِ الْخَيْرِ وَالْفَضْلِ.

“Disunnahkan memperbanyak ziarah kubur dan disunnahkan pula berlama-lama di kuburan para Ahlul Khair Wa al Fadll (para shalihin dan ulama 'amilin).”
Imam as Syafi’I -radhiyallahu ‘anhu- selalu berziarah ke makam imam Abi Hanifah untuk bertabarruk dan berdo’a di dekat makam beliau. Beliau mengatakan:
إِنِّيْ لَأَتَبَرَّكُ بِأَبِيْ حَنِيْفَةَ وَأَجِيْءُ إِلَى قَبْرِهِ فِيْ كُلِّ يَوْمٍ –يَعْنِيْ زَائِرًا-، فَإِذَا عَرَضَتْ لِيْ حَاجَةٌ صَلَّيْتُ رَكْعَتَيْنِ وَجِئْتُ إِلَى قَبْرِهِ وَسَأَلْتُ اللهَ تَعَالَى الْحَاجَةَ عِنْدَهُ، فَمَا تَبْعُدُ عَنِّيْ حَتَّى تُقْضَى.
“Sungguh aku bertabarruk (mengambil berkah) Abu Hanifah, aku mendatangi kuburannya tiap hari –dalam rangka berziarah-, dan jika muncul keperluan aku sholat dua raka'at lalu aku datang ke kuburannya dan aku memohon kepada Allah keperluan tersebut di makam Abu Hanifah, dan belum jauh aku meninggalkan kuburan kecuali hajat-ku tersebut telah dikabulkan oleh Allah.” (Diriwayatkan oleh al Hafizh al Khathib al Baghdadi dalam Tarikh Baghdad, 1/122-125)
Imam  Ibrahim al Harbi  berkata :
قَبْرُ مَعْرُوْفٍ الْكَرْخِيِّ التِّرْيَاقُ الْمُجَرَّبُ.
“Kuburan Ma'ruf al Karkhi adalah obat yang mujarab” (Diriwayatkan oleh al Hafizh al Khathib al Baghdadi dalam Tarikh Baghdad, 1/122-125)
Abu ‘Ali al Khallal, salah seorang ulama besar madzhab Hanbali mengatakan:
مَا هَمَّنِيْ أَمْرٌ فَقَصَدْتُ قَبْرَ مُوْسَى بْنَ جَعْفَرٍ فَتَوَسَّلْتُ بِهِ إِلاَّ سَهَّلَ اللهُ تَعَالَى لِيْ مَا أُحِبُّ.

“Tidaklah aku berada dalam suatu kesulitan, kemudian aku menyengaja pergi ke kuburan Musa bin Ja’far (Musa al Kaazhim) dan aku bertawassul dengannya kecuali Allah mudahkan bagiku apa yang aku sukai.” (Dituturkan oleh al Hafizh al Khathib al Baghdadi dalam Tarikh Baghdad, 1/120)
Imam an-Nawawi juga mengatakan dalam al Adzkar dan Ibnu ‘Allan dalam Syarah-nya ketika berbicara tentang ziarah ke makam Nabi:
ثُمَّ يَرْجِعُ إِلَى مَوْقِفِهِ الأَوَّلِ قُبَالَةَ وَجْهِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيَـتَوَسَّلُ بِهِ فِيْ حَقِّ نَفْسِهِ وَيَتَشَفَّعُ بِهِ إِلَى رَبِّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى لأنَّ التَّوَسُّلَ بِهِ سِيْرَةُ السَّلَفِ الصَّالِحِ الأَنْبِيَاءِ وَالأَوْلِيَاءِ وَغَيْرِهِمْ.
“Kemudian peziarah kembali ke tempatnya berdiri semula di hadapan wajah Nabi dan bertawassul serta berisytisyfa’ dengannya kepada Allah untuk kepentingan dirinya, karena bertawassul dengannya adalah tradisi orang-orang yang telah mendahului kita (as-Salaf ash-Shalih); yaitu para nabi, wali dan lainnya.”

2.   Apakah keutamaan malam nishfu Sya’ban?
Secara umum bulan Sya’ban adalah bulan yang mulia, pada bulan ini umat Islam disunnahkan untuk menjalankan puasa satu bulan penuh. Sayyidah Aisyah –radhiyallahu ‘anha- mengatakan:
كَانَ أَحَبَّ الشُّهُوْرِ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَصُوْمَهُ شَعْبَانُ ثُمَّ يَصِلَهُ بِرَمَضَانَ
“Bulan yang paling dicintai Rasulullah untuk melakukan puasa adalah Sya’ban kemudian menyambungnya dengan Ramadhan” (HR Ahmad)
Pada bulan Sya’ban juga ada malam yang sangat istimewa, yaitu malam pertengahan bulan Sya’ban yang biasa disebut dengan lailatun nishfi Sya’ban. Malam ini adalah malam yang mulia dan penuh berkah, dianjurkan bagi umat Islam untuk menghidupkan malam tersebut dengan berbagai macam ibadah, seperti shalat, dzikir, membaca al Qur’an. Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
إِذَا كَانَتْ لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَقُوْمُوْا لَيْلَهَا وَصُوْمُوْا نَهَارَهَا
“Jika datang malam nishfu Sya’ban maka shalatlah   pada waktu malamnya dan berpuasalah pada siang harinya”(HR Ibnu Majah)