Jumat, 08 April 2011

AKHLAK MULIA 2: KUNCI AKHLAK MULIA (MENAHAN EMOSI DAN MEMPERBANYAK DIAM)

Buletin Jum`at An Nuur Edisi VIII 

AKHLAK MULIA 2 : KUNCI AKHLAK MULIA
(MENAHAN EMOSI DAN MEMPERBANYAK DIAM)
Ust. Asy`ari Masduki, MA

Pada edisi sebelunya telah dijelaskan bahwa orang yang berakhlak mulia adalah orang yang dapat melaksanakan tiga perkara:
  1. Berbuat baik kepada semua orang,
  2. Menjaga diri untuk tidak menyakiti orang lain
  3. Bersabar ketika disakiti orang lalin
Untuk dapat melaksanakan ketiga perkara tersebut setidaknya seseorang harus melaksanakan dua hal, yaitu ; meredam emosi (marah) dan memperbanyak diam.
Pertama, harus mampu meredam emosi atau kemarahan. Sebab seseorang yang sedang emosi, akalya tidak dapat mengontrol lisan, tangan dan kakinya dari perbuatan jahat yang dapat menyakiti hati orang lain.
Suatu hari salah seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah tentang perkara yang dapat menyelamatkannya dari murka Allah, Rasulullah -shallallahu`alaihi wasallam- menjawab:
لاَتَغْضَبْ
"Janganlah kamu marah". (HR. al Bukhari)
Satu-satunya cara untuk dapat menahan emosi adalah dengan melawan hawa nafsu yang ada pada diri kita. Karena hawa nafsu sangat senang apabila dimuliakan diagungkan dan ditinggi-tinggikan oleh orang lain, sehingga apabila ada orang lain yang merendahkan atau mencacinya maka hawa nafsu mendorongnya untuk membalas dengan cacian yang lebih besar,  atau bahkan dengan memukul atau bahkan dengan membunuh orang tersebut. Sehingga wajar apabila Rasulullah -shallallahu`alaihi wasallam- bersabda :
لَيْسَ الشَّدِيْدُمِنْ غَلَبَ النَّاسَ وَلَكِنَّ الشَّدِيْدَمَنْ غَلَبَ نَفْسَهُ
"Bukanlah orang yang kuat itu orang yang dapat mengalahkan orang lain, tetapi orang yang kuat adalah orang yang dapat mengalahkan hawa nfsunya"
Kedua, Memperbanyak diam, karena kebanyakan kesalahan manusia berasal dari lisannya. Rasulullah bersabda :
أّكْثَرُخَطَايَاابْنِ ادَمَ مِنْ لِسَانِهِ
"Kebanyakan kesalahan manusia adalah dari lisannya" (HR. at Thabarani)
Kesalahan-kesalahan yang bersumber dari lisan, sebagian berupa kekufuran (misalnya mencaci maki Allah dengan mensifati dengan sifat makhluk separti bertempat, duduk, jisim, dhalim dan lainya. Sebagian kesalahan tersebut berupa maksiat/dosa (seperti mencaci, mengumpat, mengadu domba orang lain dan sebagainya). Kepada sahabat Abu Dzar, Rasulullah -shallallahu`alaihi wasallam-  bersabda:
عَلَيْكَ بِالصَّمْتِ إِلاَّمِنْ خَيْرٍفَإِنَّهُ مَطْرَدَةٌ لِلشَّيْطَانِ عَنْكَ وَعَوْنٌ لَكَ عَلىَ أَمْرِدِيْنِكَ
"kamu harus banyak diam kecuali dari perkataan yang baik, karena memperbanyak diam itu dapat mengusir syetan darimu dan menjadi penolong bagimu untuk menjalankan perkara agamamu" (HR. Ibnu Hibban)
 Lisan memang kecil bentuknya, tetapi apabila salah menggunakannya dapat menimbulkan permasalahan yang sangat besar. Seseorang dapat keluar dari Islam gara-gara lisannya, seseorang dapat saling tegur sapa, saling bermusuhan, dan bahkan saling bunuh gara-gara lisannya. Dengan demikian, pilihan bagi kita hanyalah dua; yaitu diam atau berkata yang baik. Rasulullah bersabda:
مَنْ كاَنَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَرَسُوْلِهِ فَلْيَقُلْ خَيْرًاأَوْلِيَصْمُتْ
"Barang siapa beriman kepada Allah dan hari kiamat maka hendaknya dia berkata yang baik atau diam". (HR. al Bukhari dan Muslim)
Karenanya sebelum bicara, hendaknya kita berfikir terlebih dahulu, apakah kata-kata yang akan kita keluarkan itu baik atau buruk, menyakitkan hati orang lain atau tidak?. Hendaknya kita selalu ingat firman Allah ta`ala:
مَّايَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلاَّلَدَيْهِرَقِيْبٌعَتِيْدٌ
Maknanya: "Tidaklah seseorang mengucapkan suatu ucapan melainkan ada di dekatnya malaikat Raqib dan Atid(yang mencatatnya)".
Forum Tanya Jawab
1. Bagaimana cara mengalahkan hawa nafsu?
    Sifat dasar hawa nafsu adalah selalu condong pada keburukan dan kemaksiatan, karenanya ia harus diperangi dan dikalahkan. Mengalahkan hawa nafsu adalah dengan mujahadah (perjuangan) terus menerus pantang menyerah sampai hawa nafsu tersebut menjadi lunak dan Istiqomah. Istiqomah-nya nafsu terjadi apabila nafsu telah berubah menjadi condong pada kebaikan dan ketaatan. Sehingga berbuat baik dan ketaatan bagi orang tersebut menjadi ringan dan mudah. Salah seorang wali Allah menceritakan:
"Aku telah berjuang melawan nafsuku selama 40 tahun dan baru dapat istiqamah".
Peryataan ini menunjukkan bahwa perang melawan hawa nafsu tidak cukup hanya sehari atau dua hari, satu tahun atau dua tahun. Namun membutuhkan perjuangan bertahun tahun. Meskipun lama dan tidaknya tergantung pada semangat dan kesungguhan masing-masing orang. Semakin diikuti dan dilayani maka nafsu skan semakin menguat dan membara, sebaliknya semakin ditekan dan tidak diikuti kemauan-kemauannya maka nafsu itu semakin dapat terkendali. Al Bushiri mengatakan:
وَالنَّفْسُ كَالطِّفْلِ إِنْ تُهْمِلْهُ شَبَّ عَلىَ
   حُبِّ الرَّضَاعِ وَإِنْ تَفْطِمْهُ يَنْفَطِمُ
"Dan nafsu itu seperti anak kecil, apabila kamu biarkan (perturutkan) saja maka dia akan menjadi pemuda yang suka menyusu dan apabila kamu sapihkan maka dengan sendirinya akan tersapihkan".
2. Apakah tawdhu` itu?
    Tawadhu` adalah rendah hati, tidak sombong. Dengan demikian orang yang tawadhu` adalah orang yang tidak memiliki dua sifat, yaitu ; batharul haqqi (menolak kebenaran yang disampaikan oleh orang lain, karena orang lalin tersebut lebih muda umurnya, miskin, lebih rendah nasabnya, lebih jelek tampangnya), dan ghamthu an nas (menghina orang lain baik dengan perkataan maupun perbuatan).
Dari sahabat Anas bin Malik, Rasulullah -shallallahu`alaihi wasallam- bersabda:
لَا تَبَاغَضُوْاوَلَاتَدَابَرُوْاوَلاَتَحَاسَدُوْاوَكُوْنُوْاعِبَادَاللهِ إِخْوَانًاوَلاَيَحِلُّ لِمُسْلِمًأَنْ يَهْجُرَأَنْ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلاَثٍ
Maknanya: "Janganlah kalian saling memarahi, saling menghina, saling mendengki, jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara. Tidak halal bagi seorang muslim untuk mendiamkan saudara semuslilmnya dalam kebencian lebih dari tiga hari". (HR. Bukhari)
Dalam hadits lain Rasulullah bersabda:
مَازَادَالله عَبْدًابِعَفْوِإِلَّاعِزَّاوَمَاتَوَاضَعَ أَحَدٌلِلَّهَ إِلَّارَفَعَهُالله
Maknanya: "Tidaklah Allah memberikan sifat pemaaf terhadap seorang hamba kecuali Allah akan menambahkan kepadanya kemuliaan, dan tidaklah seseorang bersikap tawadlu karena Allah kecuali Allah akan mengangkat derajatnya" (HR. Muslim).

0 komentar:

Posting Komentar