Selasa, 13 November 2012

HIJRAH DAN KEUTAMAAN HARI 'ASYURA


HIJRAH DAN KEUTAMAAN HARI 'ASYURA
Ust. Asy`ari Masduki, MA


إِنَّ هَذَا اْليَوْمَ يَوْمُ عَاشُوْرَاءَ لمْ يَكْتُبِ اللهُ عَلَيْكُمْ صِيَامَهُ فَمَنْ شَاءَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ شَاءَ فَلْيُفْطِرْ
Maknanya: “hari ini adalah hari ‘Asyura, Allah tidak mewajibkan kalian berpuasa, barang siapa berkehendak untuk berpuasa maka berpuasalah dan barangsiapa tidak berkehendak maka berbukalah (tidak berpuasa)”. (HR. al-Bukhari & Muslim).

Setiap kali memasuki tahun baru hijriyah kita selalu diingatkan  pada peristiwa besar dan bersejarah, yaitu hijrahnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dari Makkah al Mukarramah menuju Yatsrib yang kemudian dirubah namanya dengan al Madinah al Muawwarah. Sebab peristiwa hijrah adalah awal kejayaan Islam, berawal dari sinilah Islam menyebar dan meluas ke seluruh penjuru dunia. Mulai dari  peristiwa inilah Rasulullah mulai meletakkan dasar-dasar bermasyarakat dan bernegara. Sehingga pada hari ini bentuk negara dan masyarakat yang dibangun nabi tersebut menjadi percontohan bagi masyarakat yang modern dan beradab.
Peristiwa hijrah dimulai ketika Islam mulai menyebar luas di Madinah, maka para sahabat Nabi yang senantiasa mendapat perlakuan tidak baik dari orang-orang musyrik, mereka meminta izin kepada nabi untuk hijrah ke Madinah. Kemudian Nabi memberi izin pada mereka untuk hijrah, sehingga secara berangsur-angsur dan bergelombang umat Islam berangkat berhijrah ke madinah. Orang yang pertama kali hijrah adalah Abu Salamah saudara Nabi sesusuan. Sehingga kemudian orang yang tinggal di Makkah tersisa Rasulullah, Abu Bakar as Shiddiq dan Ali bin Abi Thalib al Murtadha, orang yang dipenjara dan orang yang sakit.
Adapaun sebab Hijrahnya Nabi ke Madinah adalah bahwa ketika orang-orang Musyrik Quraisy melihat orang-orang yang telah masuk Islam berhijrah ke Madinah dengan membawa serta keluarga dan anak-anak mereka, maka mereka khawatir Rasulullah akan juga keluar dari Makkah untuk hijrah ke Madinah, sehingga umat Islam menjadi sangat kuat dan membahayakan kedudukan mereka. Orang musyrik Quraisy selanjutnya berkumpul untuk bermusyawarah tentang masalah itu, ketika itu datanglah iblis dalam bentuk orang tua dari Nejd yang  selalu membantah pendapat setiap orang yang hadir, sampai kemudian Abu Jahal berpendapat: Kita ambil dari setiap kabilah anak muda dengan sebuah pedang, mereka memukulkannya secara bersama-sama pada Muhammad, sehingga darahnya menyebar pada semua kabilah dan Banu Abdi Manaf tidak dapat memerangi semua kabilah dan rela dengan kematiannya”. Kemudian Iblis itu mengatakan: “inilah pendapat yang tepat”. Mengetahui hal tersebut kemudian Jibril memberitahukannya pada Nabi, dan pada malam itu nabi tidak tidur di tempat tidurnya, dan memerintahkan Ali untuk tidur dan berselimut dengan selimut nabi. Ketika itu anak-anak muda musyrikin telah berkumpul di depan pintu rumah Nabi. Kemudian Nabi mengambil segenggam tanah dengan membaca surat Yasin sampai pada ayat 9. Dan melemparkan tanah itu pada kepala para pemuda musyrikin tersebut, sehingga mereka tidak dapat melihat keluarnya Rasulullah dari rumah. Selanjutnya Nabi menuju ke rumah Abu Bakar untuk mengajaknya bersama-sama berhijrah ke Madinah.
Yang perlu menjadi catatan penting di sini bahwa Rasulullah hijrah ke Madinah bukanlah karena takut atau lari dari tekanan serta intimidasi kafir Quraisy yang di lancarklan secara berrtubi-tubi terhadap Rasulullah dan para sahabatnya. Hijrah semata-mata di lakukan untuk menjalankan perintah Allah ta’ala. Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda:

أُمِرْ تُ بِقَرْيَةٍ تَأْ كُلُ اْلقُرَى وَهِيَ الطَّيِّبَةُ
“Aku di perintahkan oleh Allah untuk hijrah ke suatu daerah yang akan meluas ke daerah-daerah yang lain yaitu Taibah atau Madinah”

Rasulullah hijrah juga bukan karena putus asa dengan keadaan lingkungan Makkah juga bukan untuk mencari harta, jabatan dan kekuasaan. Karena semua itu pernah ditawarkan oleh kaum musyrikin Quraisy agar beliau bersedia menghentikan dakwahnya melewati Abu Thalib paman beliau. Namun Rasulullah membantahnya dengan mentah-mentah.
Selain peristiwa hijrah, pada bulan Muharaam kita juga dingatkan pada sebuah hari yang disebut dengan ‘Asyura (hari tanggal 10 Muharram). Hari 'Asyura adalah salah satu hari terbaik diantara hari-hari baik tahun Hijriyyah, banyak peristiwa dan kejadian bersejarah terjadi pada hari 'Asyura.  Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِنَّ هَذَا اْليَوْمَ يَوْمُ عَاشُوْرَاءَ لمْ يَكْتُبِ اللهُ عَلَيْكُمْ صِيَامَهُ فَمَنْ شَاءَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ شَاءَ فَلْيُفْطِرْ
Maknanya: “hari ini adalah hari ‘Asyura, Allah tidak mewajibkan kalian berpuasa, barang siapa berkehendak untuk berpuasa maka berpuasalah dan barangsiapa tidak berkehendak maka berbukalah (tidak berpuasa)”. (HR. al-Bukhari & Muslim).

Berdasarkan hadits shahih ini, para ulama sepakat bahwa disunnahkan berpuasa pada hari 'Asyura.  Kesunnahan puasa 'Asyura juga ditunjukkan oleh sebuah haidts dalam Shahih Muslim dari Ibn Abbas –rodliyallahu 'anhu-, beliau barkata: "Sewaktu Rasulullah shollallahu 'alaihi wasallam tiba di kota Madinah beliau menyaksikan orang-orang Yahudi sedang berpuasa pada hari 'Asyura, kemudian mereka ditanya tentang hal itu (puasa 'Asyura), lalu mereka menjawab: "Pada hari ini Allah memberi kemenangan pada Musa alaihissalam dan bani Israil atas Fir'aun, maka kami berpuasa untuk mengagungkannya". Kemudian Rasulullah shollallahu 'alaihi wasallam bersabda:

Maknanya: "Kami lebih berhak (ikut) dengan Musa dari kalian".
Kemudian Rasulullah memerintahkan berpuasa pada hari itu ('Asyura).
Puasa 'Asyura mempunyai beberapa keutamaan tersendiri. Hal itu dapat difahami dari sabda Rasulullah shollallahu 'alaihi wasallam:
Maknanya: " Puasa yang paling utama setelah puasa Ramadlan adalah puasa di bulan Allah; Muharram, dan shalat yang paling utama setelah sholat fardlu adalah sholat malam". (HR. Muslim).
Rasulullah shollallahu 'alaihi wasallam ketika ditanya mengenai puasa di hari 'Asyura bersabda:
يُكَفِّرُ السَّنَةَ اْلماَضِيَةَ
Maknanya: "ia (puasa 'Asyura) menghapus (dosa) tahun yang lalu" (HR. Muslim).

            Selain pada hari kesepuluh bulan Muharram, juga disunnahkan berpuasa pada  hari sebelumnya yaitu pada tanggal 9 Muharram atau yang juga disebut dengan hari Tasu'a. Hal ini ditunjukkan oleh sabda Rasulullah shollallahu 'alaihi wasallam yang berbunyi:

لَئِنْ بَقِيْتُ إِلَى قَابِلٍ لَأَصُوْمَنَّ التَّاسِعَ
Maknanya: "jika pada tahun depan aku masih hidup, sungguh aku akan berpuasa pada tanggal sembilan (Muharram)". (HR. Muslim).
Namun ternyata Rasulullah telah wafat sebelum sempat berpuasa Tasu'a.
Diantara hikmah disunnahkannya puasa Tasu'a menyertai 'Asyura adalah:
1. Untuk berhati-hati, karena ada kemungkinan salah dalam menetapkan awal Muharram.
2. Supaya berbeda dengan orang-orang Yahudi yang hanya berpuasa 'Asyura tanpa Tasu'a.
3. Agar puasa itu tidak hanya dilakukan pada satu hari itu saja sebagaimana puasa pada hari jum'at (makruh hukumnya mengkhususkan hari jum'at untuk berpuasa, tanpa didahului puasa pada hari sebelumnya atau diikuti puasa pada hari setelahnya), sehingga apabila seseorang tidak bisa berpuasa pada hari Tasu'a maka hendaknya ia berpuasa pada hari setelahnya (11 Muharram)









0 komentar:

Posting Komentar