Ust. Asy`ari Masduki, MA
إِنَّ هَذَا اْليَوْمَ يَوْمُ عَاشُوْرَاءَ لمْ يَكْتُبِ اللهُ عَلَيْكُمْ صِيَامَهُ فَمَنْ شَاءَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ شَاءَ فَلْيُفْطِرْ
Maknanya: “hari ini adalah hari ‘Asyura, Allah tidak
mewajibkan kalian berpuasa, barang siapa berkehendak untuk berpuasa maka
berpuasalah dan barangsiapa tidak berkehendak maka berbukalah (tidak
berpuasa)”. (HR. al-Bukhari & Muslim).
Setiap kali
memasuki tahun baru hijriyah kita selalu diingatkan pada peristiwa besar dan bersejarah, yaitu hijrahnya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dari Makkah al Mukarramah menuju
Yatsrib yang kemudian dirubah namanya dengan al Madinah al Muawwarah. Sebab peristiwa hijrah adalah awal
kejayaan Islam, berawal dari sinilah Islam menyebar dan meluas ke seluruh
penjuru dunia. Mulai dari peristiwa
inilah Rasulullah mulai meletakkan dasar-dasar bermasyarakat dan bernegara.
Sehingga pada hari ini bentuk negara dan masyarakat yang dibangun nabi tersebut
menjadi percontohan bagi masyarakat yang modern dan beradab.
Peristiwa hijrah dimulai ketika
Islam mulai menyebar luas di Madinah, maka para sahabat Nabi yang senantiasa
mendapat perlakuan tidak baik dari orang-orang musyrik, mereka meminta izin
kepada nabi untuk hijrah ke Madinah. Kemudian Nabi memberi izin pada mereka
untuk hijrah, sehingga secara berangsur-angsur dan bergelombang umat Islam
berangkat berhijrah ke madinah. Orang yang pertama kali hijrah adalah Abu Salamah
saudara Nabi sesusuan. Sehingga kemudian orang yang tinggal di Makkah tersisa
Rasulullah, Abu Bakar as Shiddiq dan Ali bin Abi Thalib al Murtadha, orang yang
dipenjara dan orang yang sakit.
Adapaun sebab Hijrahnya Nabi ke
Madinah adalah bahwa ketika orang-orang Musyrik Quraisy melihat orang-orang
yang telah masuk Islam berhijrah ke Madinah dengan membawa serta keluarga dan
anak-anak mereka, maka mereka khawatir Rasulullah akan juga keluar dari Makkah
untuk hijrah ke Madinah, sehingga umat Islam menjadi sangat kuat dan
membahayakan kedudukan mereka. Orang musyrik Quraisy selanjutnya berkumpul untuk
bermusyawarah tentang masalah itu, ketika itu datanglah iblis dalam bentuk
orang tua dari Nejd yang selalu
membantah pendapat setiap orang yang hadir, sampai kemudian Abu Jahal
berpendapat: Kita ambil dari setiap kabilah anak muda dengan sebuah pedang,
mereka memukulkannya secara bersama-sama pada Muhammad, sehingga darahnya
menyebar pada semua kabilah dan Banu Abdi Manaf tidak dapat memerangi semua
kabilah dan rela dengan kematiannya”. Kemudian Iblis itu mengatakan: “inilah
pendapat yang tepat”. Mengetahui hal tersebut kemudian Jibril memberitahukannya
pada Nabi, dan pada malam itu nabi tidak tidur di tempat tidurnya, dan
memerintahkan Ali untuk tidur dan berselimut dengan selimut nabi. Ketika itu
anak-anak muda musyrikin telah berkumpul di depan pintu rumah Nabi. Kemudian
Nabi mengambil segenggam tanah dengan membaca surat Yasin sampai pada ayat 9.
Dan melemparkan tanah itu pada kepala para pemuda musyrikin tersebut, sehingga
mereka tidak dapat melihat keluarnya Rasulullah dari rumah. Selanjutnya Nabi menuju
ke rumah Abu Bakar untuk mengajaknya bersama-sama berhijrah ke Madinah.
Yang perlu menjadi catatan penting
di sini bahwa Rasulullah hijrah ke Madinah bukanlah karena takut atau lari dari
tekanan serta intimidasi kafir Quraisy yang di lancarklan secara berrtubi-tubi
terhadap Rasulullah dan para sahabatnya. Hijrah semata-mata di lakukan untuk
menjalankan perintah Allah ta’ala. Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam
bersabda:
أُمِرْ تُ بِقَرْيَةٍ تَأْ كُلُ اْلقُرَى وَهِيَ الطَّيِّبَةُ
“Aku di perintahkan oleh Allah untuk
hijrah ke suatu daerah yang akan meluas ke daerah-daerah yang lain yaitu Taibah
atau Madinah”
Rasulullah hijrah juga bukan karena
putus asa dengan keadaan lingkungan Makkah juga bukan untuk mencari harta,
jabatan dan kekuasaan. Karena semua itu pernah ditawarkan oleh kaum musyrikin
Quraisy agar beliau bersedia menghentikan dakwahnya melewati Abu Thalib paman
beliau. Namun Rasulullah membantahnya dengan mentah-mentah.
Selain peristiwa hijrah, pada bulan Muharaam kita juga
dingatkan pada sebuah hari yang disebut dengan ‘Asyura (hari tanggal 10
Muharram). Hari 'Asyura adalah salah satu
hari terbaik diantara hari-hari baik tahun Hijriyyah, banyak peristiwa dan
kejadian bersejarah terjadi pada hari 'Asyura. Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda:
إِنَّ هَذَا اْليَوْمَ يَوْمُ عَاشُوْرَاءَ لمْ يَكْتُبِ اللهُ عَلَيْكُمْ صِيَامَهُ فَمَنْ شَاءَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ شَاءَ فَلْيُفْطِرْ
Maknanya: “hari ini adalah hari ‘Asyura, Allah tidak
mewajibkan kalian berpuasa, barang siapa berkehendak untuk berpuasa maka
berpuasalah dan barangsiapa tidak berkehendak maka berbukalah (tidak berpuasa)”.
(HR. al-Bukhari & Muslim).
Berdasarkan hadits shahih ini, para ulama sepakat bahwa
disunnahkan berpuasa pada hari 'Asyura. Kesunnahan puasa
'Asyura juga ditunjukkan oleh sebuah haidts dalam Shahih Muslim dari Ibn Abbas –rodliyallahu
'anhu-, beliau barkata: "Sewaktu Rasulullah shollallahu 'alaihi
wasallam tiba di kota Madinah beliau menyaksikan orang-orang Yahudi sedang
berpuasa pada hari 'Asyura, kemudian mereka ditanya tentang hal itu
(puasa 'Asyura), lalu mereka menjawab: "Pada hari ini Allah memberi
kemenangan pada Musa alaihissalam dan bani Israil atas Fir'aun, maka
kami berpuasa untuk mengagungkannya". Kemudian Rasulullah shollallahu
'alaihi wasallam bersabda:
Maknanya: "Kami lebih berhak (ikut) dengan Musa dari kalian".
Kemudian Rasulullah memerintahkan berpuasa pada
hari itu ('Asyura).
Puasa 'Asyura mempunyai beberapa
keutamaan tersendiri. Hal itu dapat difahami dari sabda Rasulullah shollallahu
'alaihi wasallam:
Maknanya: " Puasa yang paling utama setelah puasa Ramadlan adalah puasa di
bulan Allah; Muharram, dan shalat yang paling utama setelah sholat fardlu
adalah sholat malam". (HR. Muslim).
Rasulullah shollallahu 'alaihi
wasallam ketika ditanya mengenai puasa di hari 'Asyura bersabda:
يُكَفِّرُ السَّنَةَ اْلماَضِيَةَ
Maknanya: "ia (puasa 'Asyura) menghapus (dosa)
tahun yang lalu" (HR. Muslim).
Selain pada hari kesepuluh bulan Muharram, juga
disunnahkan berpuasa pada hari
sebelumnya yaitu pada tanggal 9 Muharram atau yang juga disebut dengan hari
Tasu'a. Hal ini ditunjukkan oleh sabda Rasulullah shollallahu
'alaihi wasallam yang berbunyi:
لَئِنْ بَقِيْتُ إِلَى قَابِلٍ لَأَصُوْمَنَّ التَّاسِعَ
Maknanya: "jika pada tahun depan aku masih hidup, sungguh aku akan berpuasa pada tanggal sembilan (Muharram)". (HR.
Muslim).
Namun
ternyata Rasulullah telah wafat sebelum
sempat berpuasa Tasu'a.
Diantara hikmah disunnahkannya puasa Tasu'a
menyertai 'Asyura adalah:
1. Untuk
berhati-hati, karena ada kemungkinan salah dalam menetapkan awal Muharram.
2. Supaya
berbeda dengan orang-orang Yahudi yang hanya berpuasa 'Asyura tanpa Tasu'a.
3. Agar
puasa itu tidak hanya dilakukan pada satu hari itu saja sebagaimana puasa pada
hari jum'at (makruh hukumnya mengkhususkan hari jum'at untuk berpuasa, tanpa
didahului puasa pada hari sebelumnya atau diikuti puasa pada hari setelahnya),
sehingga apabila seseorang tidak bisa berpuasa pada hari Tasu'a maka hendaknya
ia berpuasa pada hari setelahnya (11 Muharram)
0 komentar:
Posting Komentar