Jumat, 26 Agustus 2011

Zakat Fitrah

Zakat Fitrah
Ust. Asy`ari Masduki, MA 

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh al Baihaqi dengan sanad yang para perowinya tsiqah (terpercaya) dijelaskan bahwa puasa seseorang menggantung antara langit dan bumi selama belum dibayar zakat fitrahnya. Ini tidak berarti bahwa apabila tidak dibayar zakat fitrahnya maka puasa seseorang sama sekali tidak diterima oleh Allah ta’ala, melainkan yang dimaksud adalah bahwa puasa tersebut tidak mendapat pahala dengan derajat yang tinggi (pahala yang sempurna).
Zakat fitrah adalah zakat yang wajib dikeluarkan oleh setiap muslim, baik untuk dirinya sendiri atau untuk orang yang wajib ia beri nafkah (ia tanggung biaya hidunya), seperti orang tuanya yang fakir, istri dan anaknya yang belum baligh. Zakat fitrah wajib dikeluarkan jika seseorang mempunyai harta lebih dari kebutuhan sandang, papan, makanan pokoknya dan makanan pokok orang-orang yang wajib ia nafkahi pada hari raya dan malam hari raya dan juga ada kelebihan untuk membayar hutangnya. Ukuran makanan pokok yang wajib dikeluarkan zakat fitrah nya adalah satu Sha’ atau 4 Mud (sekitar +- 2.5 kg).
Dalam mengeluarkan zakat, diwajibkan untuk berniat ketika memisahkan kadar zakat yang akan ia keluarkan. Sebagai contoh, ketika ia memisahkan kadar zakat untuk dirinya dalam hati ia berniat: “ini zakatku”. Adapun jika ia ingin mengeluarkan zakat fitrah anaknya yang sudah baligh, maka diharuskan untuk meminta izin terlebih dahulu kepada si anak tersebut. Apabila tidak demikian, maka zakat tersebut tidak sah, karena anak yang sudah baligh secara hukum fikih, nafkah (biaya hidupnya) bukan lagi menjadi kewajiban orang tuanya. Hal ini sangat penting untuk diperhatikan, mengingat kebanyakan orang cenderung mengabaikannya.
Zakat fitrah wajib bagi orang yang mendapati bagian dari bulan Ramadhan dan Syawal. Bayi yang lahir setelah matahari terbenam pada akhir bulan Ramadhan (tidak mendapati bagian dari bulan Ramadhan) atau lahir pada bulan Ramadhan dan mati sebelum terbenamnya matahari pada hari terakhir pada bulan Ramadhan maka tidak wajib dikeluarkan zakatnya.
Waktu mengelurkan zakat fitrah dimulai dari awal Ramadhan hingga terbenamnya matahari pada hari raya. Jika dikeluarkan setelah matahari terbenam pada hari raya tanpa ada udzur maka hukumnya haram. Adapun yang paling utama adalah dikeluarkan pada pagi hari raya sebelum shalat ‘Id (hukumnya sunnah). Dan apabila dikeluarkan setelah shalat ‘id (hari raya) maka hukumnya adalah makruh.
Orang-orang yang berhak menerima zakat fitrah
Orang-orang yang berhak menerima zakat fitrah adalah  orang-orang yang juga berhak menerima zakat-zakat yang lain, mereka telah disebut oleh Allah dalam firmannya:
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَاْلَمسَاكِيْنَ وَاْلعَامِلِيْنَ عَلَيْهَا وَاْلُمؤَلَّفَةِ قُلُوْبُهُمِ وَفِي الرِّقَابِ وَاْلغَارِمِيْنَ وَفِي سَبِيْلِ اللهِ وَابْنِ السَّبِيْلِ
Maknanya: “sesungguhnya zakat-zakat itu hanya untuk orang-orang:
1.       Fakir; orang yang tidak bekerja atau bekerja tetapi hasilnya tidak mencapai separuh dari kebutuhannya seperti orang yang sehari membutuhkan Rp. 10.000 akan tetapi ia hanya dapat menghasilkan Rp. 4.000.
2.       Miskin; orang yang hanya bisa memenuhi separuh kebutuhannya. seperti orang yang dalam sehari membutuhkan Rp.10.000 tetapi dia hanya bisa memenuhi Rp. 8.000 atau Rp. 7.000
3.       Amil; orang yang ditunjuk khalifah atau sulthan dengan tanpa diberi gaji dari baitul mal (kas Negara) untuk mengambil (menerima) dan membagikan zakat. Dikarenakan tidak adanya khalifah di masa sekarang, maka amilpun menjadi tidak ada. Adapun panitia yang biasanya dibentuk di setiap kampung mereka bukanlah amil yang menurut syara’ yang berhak mendapatkan zakat. Namun jika mereka tergolong fakir atau miskin atau termasuk orang-orang yang berhak menerima zakat (selain amil), mereka boleh menerima bagian zakat atas nama golongan-golongan tersebut. Jadi status mereka hanyalah wakil dari orang-orang yang mengeluarkan zakat (untuk menyalurkannya ke tangan mereka yang berhak menerimanya).
4.       Al muallafatu qulubuhum; seperti orang yang baru masuk Islam dan niatnya masih lemah. Mereka diberi bagian zakat supaya niat masuk Islamnya menjadi kuat. Atau mereka adalah orang-orang yang terpandang di antara kaumnya, dengan diberikannya zakat kepada mereka diharapkan orang-orang semacam mereka yang masih kafir tertarik untuk masuk Islam.
5.       Riqab; budak mukatab yakni hamba sahaya yang memiliki perjanjian dengan tuannya jika dia bisa membayar uang dengan jumlah tertentu maka ia merdeka. Keberadaan budak saat ini sangat jarang dijumpai kecuali di beberapa tempat seperti di Mauritania (kebanyakan para budak di sana sudah tidak lagi diperjual belikan layaknya budak-budak zaman dahulu)
6.       Gharim; orang yang berhutang bukan untuk digunakan dalam kemaksiatan dan tidak mampu melunasinya pada waktunya (sudah jatuh tempo).
7.       Fi sabilillah; yaitu orang yang berperang di medan pertempuran melawan orang-orang kafir tanpa mendapatkan gaji sepeserpun dari khalifah atau penguasa (pejuang suka relawan)
8.       Ibnu Sabil; musafir yang kehabisan bekal untuk bisa sampai ke tujuannya

Forum Tanya Jawab
1.       Bolehkan zakat diberikan untuk pembangunan masjid?
Secara umum, sabilillah dapat diartikan dengan segala amal kebajikan yang bertujuan untuk menghidupkan ruh Islam. Akan tetapi dalam masalah zakat, para ulama mendefinisikannya hanya dalam satu pengertian, yaitu orang yang berperang di medan pertempuran melawan orang-orang kafir tanpa mendapatkan gaji sepeserpun dari khalifah atau penguasa (pejuang suka relawan).
Adapun penafsiran sebagian orang bahwa pembangunan rumah sakit, masjid atau madrasah dan aktivitas lain yang baik seperti mengajar adalah masuk ke kategori  sabilillah yang berhak menerima (mengambil) bagian dari zakat, maka hal ini tidak dapat dibenarkan dengan berbagai alasan sebagai berikut:
1.       Tidak satupun di antara ulama salaf, imam mujtahid atau yang setingkat dengan mereka mengatakan bahawa sabilillah dalam hal zakat adalah mencangkup semua amal kebaikan
2.       Pendapat tersebut muncul dari orang-orang yang belum memenuhi syarat-syarat ijtihad
3.       Pendapat tersebut menyalahi perkataan imam malik: “jalan menuju Allah sangatlah banyak, tetapi aku tidak menjumpai ikhtilaf (perbedaan pendapat diantara para ulama) bahwa yang dimaksud sabilillah di sini (dalam hal zakat) adalah berkaitan dengan peperangan (Ibnu al Arabiy al Maliki, Ahkam al Qur’an)
4.       Adanya ijma’ (konsensus para pakar tafsir) bahwa yang dimaksud sabilillah dalam ayat tersebut adalah para pejuang sukarelawan. Hal ini dapat ditelaah dalam kitab-kitab tafsir mu’tabar seperti al Bahr al Muhith atau an Nahr al Mad karya Abu Hayyan, at Tafsir al Kabir karya ar Raziy, az Zad al masiir karya al Hafidz Ibnu al Jauzi, tafsir al Baidhawi, tafsir al Qurthubi, tafsir Ibnu ‘Athiyyah dan masih banyak lagi.
5.       Pendefinisian fisabilillah dengan para pejuang sukarelawan merupakan ijma’ para ulama yang telah dinyatakan para fuqaha (ulama fikih), mereka antara lain: imam Syafi’I dalam al Um juz VI hal. 62, imam Malik dalam al Muwatha hal 179, Muhammad Ibnu al Hasan dalam al Mudawwanah juz II, hal. 59, Ibnu Hubairah al Hanbali dalam al Ifshah hal. 108, Ibnu Qudamah dalam al Mughniy, Ibnu al Mundzir dalam al Irsyaf dan lain-lain. Hanya saja imam Ahmad ibnu Hanbal menambahkan bahwa termasuk juga fisabilillah dalam hal ini adalah haji.
Cukup sebagai dalil bahwa zakat tidak boleh diberikan kepada selain ashnaf (golongan) yang delapan sesuai  penjelasan para ulama bahwa ayat 60 dari surat at Taubah tersebut menggunakan lafdz innama (termasuk lafadz yang berfungsi hashr, yaitu terbatas pada sesuatu yang disebutkan setelahnya) yang berarti bahwa zakat hanya sah jika diberikan kepada 8 golongan tersebut. Dan seandainya zakat itu diperuntukkan bagi semua amal kebaikan maka tidak ada artinya al hashr (pembatasan) dengan lafdz tersebut. Juga sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika beliau berbicara tentang zakat:
إِنَّهَا لاَ تَحِلُّ لِغَنِيٍّ وَلاَ لِذِيْ مِرَّةٍ سَوِيٍّ
“ Sesungguhnya zakat tidak halal bagi orang kaya dan orang yang mempunyai pekerjaan yang mencukupinya” HR Abu Dawud dan al Baihaqi)
Jika zakat dibayarkan untuk membangun rumah sakit, masjid atau madrasah kemudian tempat-tempat itu dimanfaatkan oleh semua orang baik kaya maupun miskin, maka hal ini jelas bertentangan dengan hadits tersebut.

0 komentar:

Posting Komentar