Jumat, 12 Agustus 2011

DO`A

Buletin Jum`at Edisi 15

KEAGUNGAN DO`A DALAM ISLAM

Ust. Asy`ari Masduki, MA


Allah ta’ala berfirman:
وَقَالَ رَبُّكُـمْ ٱدْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ
“Dan Tuhan kalian berfirman: Berdo’alah kalian kepadaku maka aku akan perkenankan doa kalian (Q.S Ghafir:60)

Ayat di atas adalah salah satu dari sekian banyak ayat al Qur’an yang memerintahkan umat Islam untuk senantiasa berdo’a kepada Allah ta’ala. Do’a artinya sebuah permohonan atau permintaan kepada Allah dengan disertai perendahan diri dan penghinaan diri. Do’a juga berarti penyampaian hajat atau kebutuhan seorang hamba kepada Allah, dzat yang menciptakan manfaat dan madharrat (bahaya). Do’a adalah salah satu ibadah yang paling utama. Dari an Nu’man bin Basyir, Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
الدُّعَاءُ هُوَ اْلعِبَادَةُ
“Do’a adalah ibadah”. (HR Abu Dawud)
Do’a adalah obat yang paling mujarrab (teruji) dan senjata paling ampuh bagi seorang mukmin untuk mengatasi segala kebutuhan dan menghilangkan segala kesempitan dan kesusahan. Do’a juga merupakan bentuk ekspresi dan pengakuan seorang hamba akan kelemahannya dan pengakuan bahwasanya Allah ta’ala adalah dzat yang maha kuasa, maha kaya, pencipta manfaat dan madharrat, dzat yang maha mengetahui dan maha mendengar.
Berdasarkan ayat di atas dapat dipahami pahwa seluruh do’a yang dipanjatkan oleh seorang mukmin akan dikabulkan oleh Allah. Namun bentuk terkabulnya do’a tidak selalu sesuai dengan jenis permintaan orang yang berdo’a. Terkabulnya sebuah do’a memiliki beberapa bentuk, yaitu:
1.    Terkabul sesuai dengan jenis permintaan dan waktu yang dikehendaki seorang hamba.
2.    Terkabul sesuai dengan jenis permintaan, namun terlambat dari waktu yang dikehendaki oleh seorang hamba, karena adanya hikmah dari Allah ta’ala, dzat yang maha mengatur alam semesta dan maha mengetahui.
3.    Terkabul, tetapi tidak sesuai dengan jenis permintaan seorang hamba, karena dalam sesuatu yang dimintanya tidak ada kemashlahatan (kebaikan) bagi orang tersebut, atau ada mashlahat-nya tetapi ada sesuatu yang lebih banyak mashlahat-nya bagi dia dari pada sesuatu yang dia mohonkan. Hal itu karena Allah lebih mengetahui kebaikan untuk hamba-Nya dari pada hamba itu sendiri.
       Semua bentuk terkabulnya do’a tersebut adalah terjadi sesuai dengan kehendak (masyiah) Allah ta’ala, karena do’a tidak dapat merubah kehendak (masyiah) Allah ta’ala. Masyiah/iradah (kehendak) dan taqdir (ketentuan) Allah sebagaimana juga sifat-sifat Allah yang lain adalah azaliyah abadiyah sehingga tidak dapat berubah-rubah.
     Meskipun do’a tidak dapat merubah ketentuan dan kehendak Allah, namun seorang mukmin harus tetap senantiasa memanjatkan do’a, karena seorang hamba tidak mengetahui  ketentuan dan kehendak Allah untuk dirinya, mana tahu do’a tersebut sesuai dengan kehendak dan ketentuan Allah ta’ala pada azal (keberadaan tanpapermualaan). Dan apabila ternyata do’a tersebut tidak terkabul sesuai dengan yang dikehendaki, maka dia akan tetap mendapat pahala do’a dan fadhilah (keutamaan) doanya apabila do’a tersebut dipanjatkan dengan penuh keikhlasan, sebab memanjatkan do’a adalah perintah Allah ta’ala.
Dalam sebuah hadits Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
 مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَدْعُو اللهَ بِدَعْوَةٍ لَيْسَ فِيهَا إِثْمٌ وَلا قَطِيعَةُ رَحِمٍ إِلا أَعْطَاهُ اللهُ بِهَا إِحْدَى ثَلاثٍ: إِمَّا أَنْ يُعَجِّلَ لَهُ دَعْوَتَهُ، وَإِمَّا أَنْ يَدَخِرَهَا لَهُ فِي الآخِرَةِ، وَإِمَّا أَنْ يَصْرِفَ عَنْهُ مِنَ السُّوءِ مِثْلهَا
“Tidaklah seorang mukmin berdo’a kepada Allah dengan sebuah do’a yang tidak ada di dalamnya dosa dan memutuskan silaturrahim kecuali Allah akan memberikan kepadanya salah satu dari tiga perkara: 1. adakalanya Allah mempercepat mengabulkan do’anya, 2. adakalanya Allah menyimpan do’anya itu sebagai pahala di akhirat dan 3. adakalanya Allah memalingkan keburukan darinya seperti do’anya”. (HR Ahmad dan al Hakim)
Adab-Adab Dalam Berdo’a
Di dalam memanjatkan sebuah do’a seorang hamba hendaknya menjaga adab-adab berdo’a; yaitu:
1.    Menghadap kiblat
2.    Memulai do’a dengan hamdalah
3.    Kemudian membaca shalawat nabi
4.    Kemudian menyebutkan nama-nama Allah atau sifatnya, misalnya mengatakan: Ya rabb, ya rahman, Ya Rahim, Ya malikal mulki, ya dzal jalaali wal ikram, ya hayyu ya qayyum dan seterusnya.
5.    Berdo’a dengan melirihkan suara
6.    Berdo’a dengan menengadahkan telapak tangan bagian dalam, dan mengusapkannya ke muka setelah selesai berdo’a. Rasulullah bersabda:
إِذَا دَعَوتَ اللهَ فَادْعُ بِبَاطِنِ كَفَّيْكَ وَلَا تَدْعُ بِظُهُورِهِمَا فَإِذَا فَرَغْتَ فَامْسَحْ بِهِمَا وَجْهَكَ

“Apabila kamu berdo’a kepada Allah maka berdo’alah dengan bagian dalam dua telapak tanganmu dan jangan berdo’a dengan bagian luarnya, dan apabila telah selesai maka usapkanlah keduanya pada mukamu” (HR Ibnu Majah)
7.    Berdo’a pada waktu-waktu yang mustajab. Terdapat  beberapa waktu mustajab (waktu dimana orang yang berdo’a ketika itu akan dikabulkan oleh Allah) di antaranya adalah:
a.    Pada waktu turunnya lailatul qadr (pada sebuah malam pada bulan Ramadhan)
b.    Pada setiap malam hari terutama pada sepertiga malam terakhir, karena ada penjelasan hadits bahwa para Malaikat pada sepertiga malam terakhir diperintahkan oleh Allah untuk turun ke langit bumi untuk menyereru bahwa orang yang berdo’a pada saat itu akan dikabulkan do’anya oleh Allah ta’ala.
c.     Setelah menjalankan shalat lima waktu
d.    Antara adzan dan iqamah
e.    Sesaat pada siang hari jum’at, namun tidak ada ketentuan waktu tepatnya, kerenanya sepanjang siang hari jum’at hendaknya seorang hamba memperbanyak memanjatkan do’a kepada Allah ta’ala. Meski begitu kebanyakan para ulama menjelaskan bahwa waktu mustajab berada pada waktu setelah ashar sebelum maghrib pada hari jum’at.
f.      Ketika seseorang melakukan sujud dalam shalat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
أَقْرَبُ مَا يَكُوْنُ اْلعَبْدُ مِنْ رَّبِّهِ وَهُوَ سَاجِدٌ فَاكْثِرُوا مِنَ الدُّعَاءِ فِيْهِ
“Sedekat-dekatnya seorang hamba pada rahmat tuhannya  adalah ketika rdia sedang sujud maka perbanyaklah do’a dalam sujud”
8.    Berdo’a di tempat-tempat yang mustajab
a.    Ketika melihat Ka’bah yang mulia
b.    Ketika mencium Hajar Aswad
c.     Ketika Thawaf dan Sa’iy
d.    Setelah minum air zam-zam
e.    Pada hari ‘Arafah
f.      Setelah membaca al Qur’an
g.    Setelah mengkhatamkan al Qur’an,
h.    Ketika turunnya hujan
i.      Doa orang yang didzalimi
j.      Do’a orang yang sedang musafir (sedang dalam perjalanan)
k.    Do’a orang yang berpuasa di saat berbuka puasa
l.      Do’anya seorang mukmin untuk saudaranya yang tidak di hadapannya, Rasulullah -shallalllahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
أَسْرَعُ الدُّعَاءِ إِجَابَةً عِنْدَ اللهِ دُعَاءُ غَائِبٍ لِغَائِبٍ
“Do’a yang paling cepat dikabulkan oleh Allah adalah do’anya seseorang untuk orang yang tidak berada dihadapannya”(HR al Bukhari)

Forum Tanya Jawab
1.   Apa hukum berdo’a di dekat makam Rasulullah atau para wali dengan tujuan tawassul, istighatsah dan tabarruk?
Berdo’a di dekat makam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, para nabi lainnya dan makam para wali dan orang-orang yang shalih untuk tujuan tabarruk, tawasul dan istighatsah adalah boleh. Tidak benar tuduhan kaum Wahhabiyah yang menuduh orang yang berdo’a di dekat kuburan seorang wali adalah kafir dan syirik.  al Hafizh Syamsuddin Ibnu al Jazari mengatakan dalam kitabnya 'Uddah al Hishn al Hashin, hal.20 :
وَمِنْ مَوَاضِعِ إِجَابَةِ الدُّعَاءِ قُبُوْرُ الصَّالِـحِيْنَ.
“Di antara tempat dikabulkannya doa adalah kuburan orang-orang yang saleh.”
Al Imam an-Nawawi mengatakan dalam kitabnya al Adzkaar (hal. 168):
وَيُسْتَحَبُّ الإِكْثَارُ مِنَ الزِّيَارَةِ، وَأَنْ يُكْثِرَ الوُقُوْفَ عِنْدَ قُبُوْرِ أَهْلِ الْخَيْرِ وَالْفَضْلِ.

“Disunnahkan memperbanyak ziarah kubur dan disunnahkan pula berlama-lama di kuburan para Ahlul Khair Wa al Fadll (para shalihin dan ulama 'amilin).”
Imam as Syafi’I -radhiyallahu ‘anhu- selalu berziarah ke makam imam Abi Hanifah untuk bertabarruk dan berdo’a di dekat makam beliau. Beliau mengatakan:
إِنِّيْ لَأَتَبَرَّكُ بِأَبِيْ حَنِيْفَةَ وَأَجِيْءُ إِلَى قَبْرِهِ فِيْ كُلِّ يَوْمٍ –يَعْنِيْ زَائِرًا-، فَإِذَا عَرَضَتْ لِيْ حَاجَةٌ صَلَّيْتُ رَكْعَتَيْنِ وَجِئْتُ إِلَى قَبْرِهِ وَسَأَلْتُ اللهَ تَعَالَى الْحَاجَةَ عِنْدَهُ، فَمَا تَبْعُدُ عَنِّيْ حَتَّى تُقْضَى.
“Sungguh aku bertabarruk (mengambil berkah) Abu Hanifah, aku mendatangi kuburannya tiap hari –dalam rangka berziarah-, dan jika muncul keperluan aku sholat dua raka'at lalu aku datang ke kuburannya dan aku memohon kepada Allah keperluan tersebut di makam Abu Hanifah, dan belum jauh aku meninggalkan kuburan kecuali hajat-ku tersebut telah dikabulkan oleh Allah.” (Diriwayatkan oleh al Hafizh al Khathib al Baghdadi dalam Tarikh Baghdad, 1/122-125)
Imam  Ibrahim al Harbi  berkata :
قَبْرُ مَعْرُوْفٍ الْكَرْخِيِّ التِّرْيَاقُ الْمُجَرَّبُ.
“Kuburan Ma'ruf al Karkhi adalah obat yang mujarab” (Diriwayatkan oleh al Hafizh al Khathib al Baghdadi dalam Tarikh Baghdad, 1/122-125)
Abu ‘Ali al Khallal, salah seorang ulama besar madzhab Hanbali mengatakan:
مَا هَمَّنِيْ أَمْرٌ فَقَصَدْتُ قَبْرَ مُوْسَى بْنَ جَعْفَرٍ فَتَوَسَّلْتُ بِهِ إِلاَّ سَهَّلَ اللهُ تَعَالَى لِيْ مَا أُحِبُّ.

“Tidaklah aku berada dalam suatu kesulitan, kemudian aku menyengaja pergi ke kuburan Musa bin Ja’far (Musa al Kaazhim) dan aku bertawassul dengannya kecuali Allah mudahkan bagiku apa yang aku sukai.” (Dituturkan oleh al Hafizh al Khathib al Baghdadi dalam Tarikh Baghdad, 1/120)
Imam an-Nawawi juga mengatakan dalam al Adzkar dan Ibnu ‘Allan dalam Syarah-nya ketika berbicara tentang ziarah ke makam Nabi:
ثُمَّ يَرْجِعُ إِلَى مَوْقِفِهِ الأَوَّلِ قُبَالَةَ وَجْهِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيَـتَوَسَّلُ بِهِ فِيْ حَقِّ نَفْسِهِ وَيَتَشَفَّعُ بِهِ إِلَى رَبِّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى لأنَّ التَّوَسُّلَ بِهِ سِيْرَةُ السَّلَفِ الصَّالِحِ الأَنْبِيَاءِ وَالأَوْلِيَاءِ وَغَيْرِهِمْ.
“Kemudian peziarah kembali ke tempatnya berdiri semula di hadapan wajah Nabi dan bertawassul serta berisytisyfa’ dengannya kepada Allah untuk kepentingan dirinya, karena bertawassul dengannya adalah tradisi orang-orang yang telah mendahului kita (as-Salaf ash-Shalih); yaitu para nabi, wali dan lainnya.”

2.   Apakah keutamaan malam nishfu Sya’ban?
Secara umum bulan Sya’ban adalah bulan yang mulia, pada bulan ini umat Islam disunnahkan untuk menjalankan puasa satu bulan penuh. Sayyidah Aisyah –radhiyallahu ‘anha- mengatakan:
كَانَ أَحَبَّ الشُّهُوْرِ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَصُوْمَهُ شَعْبَانُ ثُمَّ يَصِلَهُ بِرَمَضَانَ
“Bulan yang paling dicintai Rasulullah untuk melakukan puasa adalah Sya’ban kemudian menyambungnya dengan Ramadhan” (HR Ahmad)
Pada bulan Sya’ban juga ada malam yang sangat istimewa, yaitu malam pertengahan bulan Sya’ban yang biasa disebut dengan lailatun nishfi Sya’ban. Malam ini adalah malam yang mulia dan penuh berkah, dianjurkan bagi umat Islam untuk menghidupkan malam tersebut dengan berbagai macam ibadah, seperti shalat, dzikir, membaca al Qur’an. Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
إِذَا كَانَتْ لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَقُوْمُوْا لَيْلَهَا وَصُوْمُوْا نَهَارَهَا
“Jika datang malam nishfu Sya’ban maka shalatlah   pada waktu malamnya dan berpuasalah pada siang harinya”(HR Ibnu Majah)


0 komentar:

Posting Komentar