DO’A ADALAH SENJATA SEORANG MUKMIN
Asy’ari
Masduki, MA
Allah
ta’ala berfirman:
وَقَالَ رَبُّكُـمْ ٱدْعُونِي
أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ
جَهَنَّمَ داخِرِينَ
“Dan Tuhan
kalian berfirman: Berdo’alah kalian kepadaku maka aku akan perkenankan doa
kalian, sesungguhnya orang-orang yang sombong dari menyembahku mereka akan
masuk nerakan Jahannam dalam keadaan hina dina” (Q.S Ghafir:60)
Ayat di atas adalah salah satu dari
sekian banyak ayat al Qur’an yang memerintahkan umat Islam untuk senantiasa
berdo’a kepada Allah ta’ala. Do’a artinya sebuah permohonan atau permintaan
kepada Allah dengan disertai perendahan diri dan penghinaan diri. Do’a juga
berarti penyampaian hajat atau kebutuhan seorang hamba kepada Allah, dzat yang
menciptakan manfaat dan madharrat (bahaya). Do’a adalah salah
satu ibadah yang paling utama. Dari an Nu’man bin Basyir, Rasulullah -shallallahu
‘alaihi wasallam- bersabda:
الدُّعَاءُ
هُوَ اْلعِبَادَةُ
“Do’a adalah ibadah”. (HR Abu Dawud)
Do’a adalah obat yang paling mujarrab
(teruji) dan senjata paling ampuh bagi seorang mukmin untuk mengatasi segala
kebutuhan dan menghilangkan segala kesempitan dan kesusahan. Do’a juga
merupakan bentuk ekspresi dan pengakuan seorang hamba akan kelemahannya dan pengakuan
bahwasanya Allah ta’ala adalah dzat yang maha kuasa, maha kaya, pencipta
manfaat dan madharrat, dzat yang maha mengetahui dan maha mendengar.
Berdasarkan ayat di atas dapat dipahami pahwa
seluruh do’a yang dipanjatkan oleh seorang mukmin akan dikabulkan oleh Allah.
Namun bentuk terkabulnya do’a tidak selalu sesuai dengan jenis permintaan orang
yang berdo’a. Terkabulnya sebuah do’a memiliki beberapa bentuk, yaitu:
1.
Terkabul sesuai dengan jenis permintaan
dan waktu yang dikehendaki seorang hamba.
2.
Terkabul sesuai dengan jenis permintaan,
namun terlambat dari waktu yang dikehendaki oleh seorang hamba, karena adanya
hikmah dari Allah ta’ala, dzat yang maha mengatur alam semesta dan maha
mengetahui.
3.
Terkabul, tetapi tidak sesuai dengan jenis
permintaan seorang hamba, karena dalam sesuatu yang dimintanya tidak ada
kemashlahatan (kebaikan) bagi orang tersebut, atau ada mashlahat-nya
tetapi ada sesuatu yang lebih banyak mashlahat-nya bagi dia dari pada
sesuatu yang dia mohonkan. Hal itu karena Allah lebih mengetahui kebaikan untuk
hamba-Nya dari pada hamba itu sendiri.
Semua bentuk terkabulnya do’a tersebut adalah
terjadi sesuai dengan kehendak (masyiah) Allah ta’ala, karena do’a tidak
dapat merubah kehendak (masyiah) Allah ta’ala. Masyiah/iradah
(kehendak) dan taqdir (ketentuan) Allah sebagaimana juga sifat-sifat
Allah yang lain adalah azaliyah abadiyah sehingga tidak dapat
berubah-rubah.
Meskipun
do’a tidak dapat merubah ketentuan dan kehendak Allah, namun seorang mukmin
harus tetap senantiasa memanjatkan do’a, karena seorang hamba tidak
mengetahui ketentuan dan kehendak Allah
untuk dirinya, mana tahu do’a tersebut sesuai dengan kehendak dan ketentuan
Allah ta’ala pada azal (keberadaan tanpapermualaan). Dan apabila
ternyata do’a tersebut tidak terkabul sesuai dengan yang dikehendaki, maka dia
akan tetap mendapat pahala do’a dan fadhilah (keutamaan) doanya apabila
do’a tersebut dipanjatkan dengan penuh keikhlasan, sebab memanjatkan do’a
adalah perintah Allah ta’ala.
Dalam sebuah hadits
Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَدْعُو
اللهَ بِدَعْوَةٍ لَيْسَ فِيهَا إِثْمٌ وَلا قَطِيعَةُ رَحِمٍ إِلا أَعْطَاهُ
اللهُ بِهَا إِحْدَى ثَلاثٍ: إِمَّا أَنْ يُعَجِّلَ لَهُ دَعْوَتَهُ، وَإِمَّا
أَنْ يَدَخِرَهَا لَهُ فِي الآخِرَةِ، وَإِمَّا أَنْ يَصْرِفَ عَنْهُ مِنَ السُّوءِ
مِثْلهَا
“Tidaklah
seorang mukmin berdo’a kepada Allah dengan sebuah do’a yang tidak ada di
dalamnya dosa dan memutuskan silaturrahim kecuali Allah akan memberikan
kepadanya salah satu dari tiga perkara: 1. adakalanya Allah mempercepat
mengabulkan do’anya, 2. adakalanya Allah menyimpan do’anya itu sebagai pahala
di akhirat dan 3. adakalanya Allah memalingkan keburukan darinya seperti
do’anya”.
(HR Ahmad dan al Hakim)
Adab-Adab Dalam Berdo’a
Di dalam memanjatkan sebuah do’a seorang hamba
hendaknya menjaga adab-adab berdo’a; yaitu:
1.
Menghadap kiblat
2.
Memulai do’a dengan hamdalah
3.
Kemudian membaca shalawat nabi
4.
Kemudian menyebutkan nama-nama Allah atau
sifatnya, misalnya mengatakan: Ya rabb, ya rahman, Ya Rahim, Ya malikal
mulki, ya dzal jalaali wal ikram, ya hayyu ya qayyum dan seterusnya.
5.
Berdo’a dengan melirihkan suara
6. Berdo’a
dengan menengadahkan telapak tangan bagian dalam, dan mengusapkannya ke muka
setelah selesai berdo’a. Rasulullah bersabda:
إِذَا دَعَوتَ
اللهَ فَادْعُ بِبَاطِنِ كَفَّيْكَ وَلَا تَدْعُ بِظُهُورِهِمَا فَإِذَا فَرَغْتَ
فَامْسَحْ بِهِمَا وَجْهَكَ
“Apabila kamu berdo’a kepada Allah maka
berdo’alah dengan bagian dalam dua telapak tanganmu dan jangan berdo’a dengan
bagian luarnya, dan apabila telah selesai maka usapkanlah keduanya pada mukamu”
(HR Ibnu Majah)
7.
Berdo’a pada waktu-waktu yang mustajab.
di antaranya adalah:
a.
Pada waktu turunnya lailatul qadr
b.
Pada setiap malam hari terutama pada
sepertiga malam terakhir, karena ada penjelasan hadits bahwa para Malaikat pada
sepertiga malam terakhir diperintahkan oleh Allah untuk turun ke langit bumi
untuk menyereru bahwa orang yang berdo’a pada saat itu akan dikabulkan do’anya
oleh Allah ta’ala.
c.
Setelah menjalankan shalat lima waktu
d.
Antara adzan dan iqamah
e.
Sesaat pada siang hari jum’at, namun tidak
ada ketentuan waktu tepatnya, kerenanya sepanjang siang hari jum’at hendaknya
seorang hamba memperbanyak memanjatkan do’a kepada Allah ta’ala. Meski begitu
kebanyakan para ulama menjelaskan bahwa waktu mustajab berada pada waktu
setelah ashar sebelum maghrib pada hari jum’at.
f. Ketika
seseorang melakukan sujud dalam shalat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda:
أَقْرَبُ مَا يَكُوْنُ اْلعَبْدُ مِنْ رَّبِّهِ وَهُوَ
سَاجِدٌ فَاكْثِرُوا مِنَ الدُّعَاءِ فِيْهِ
“Sedekat-dekatnya seorang hamba pada rahmat tuhannya adalah ketika rdia sedang sujud maka
perbanyaklah do’a dalam sujud”
8.
Berdo’a di tempat-tempat yang mustajab
a.
Ketika melihat Ka’bah yang mulia
b.
Ketika mencium Hajar Aswad
c.
Ketika Thawaf dan Sa’iy
d.
Setelah minum air zam-zam
e.
Pada hari ‘Arafah
f.
Setelah membaca al Qur’an
g. Setelah
mengkhatamkan al Qur’an, Al imam an Nawawi mengatakan:
يُسْتَحَبُّ الدُّعَاءُ بَعْدَ قِرَاءَةِ اْلقُرْآنِ
اسْتِحْبَابًا
“Benar-benar disunnahkan
membaca do’a setelah membaca al Qur’an"
h.
Ketika turunnya hujan
i.
Doa orang yang didzalimi
j.
Do’a musafir (orang yang sedang
dalam perjalanan)
k.
Do’a orang yang berpuasa di saat berbuka
puasa
l. Do’anya
seorang mukmin untuk saudaranya yang tidak di hadapannya, Rasulullah -shallalllahu
‘alaihi wasallam- bersabda:
أَسْرَعُ الدُّعَاءِ إِجَابَةً عِنْدَ اللهِ دُعَاءُ
غَائِبٍ لِغَائِبٍ
“Do’a yang paling cepat
dikabulkan oleh Allah adalah do’anya seseorang untuk orang yang tidak berada
dihadapannya”(HR al Bukhari)
0 komentar:
Posting Komentar