Hikmah Silaturrahim
Silaturrahim
(menyambung kekerabatan) adalah wajib hukumnya. Silaturrahim bisa dengan
saling mengunjungi di hari-hari bahagia seperti pada hari kelahiran, pada hari
pernikahan dan pada hari raya. Silaturrahim juga dapat dilakukan dengan
cara membantu kerabat kita yang membutuhkan bantuan. Banyak ayat al Qur’an dan
hadits Rasulullah yang menjelaskan keutamaan silaturahim. Sahabat ‘Uqbah
bin Amir bertanya kepada Rasulullah, apakah keselamatan itu wahai Rasulullah?,
kemudian beliau bersabda:
تَصِلُ مَنْ قَطَعَكَ وَتُعْطِي
مَنْ حَرَمَكَ وَتَعْفُوا
عَمَّنْ ظَلَمَكَ
Maknanya: “Keselamatan
adalah apabila kamu bersilaturahim pada orang yang telah memutus tali
silaturahim denganmu, dan apabila kamu memberi sesuatu kepada orang yang tidak
mau memberi sesuatu kepadamu, dan apabila kamu memaafkan orang yang telah
berbuat dhalim kepadamu”.
Abu
Hurairah bertanya kepada Rasulullah, Wahai Rasulullah tunjukkanlah kepada
perbuatan yang jika aku lakukan maka aku akan masuk surga, kemudian Rasulullah
bersabda:
أَطْعِمِ الطَّعَامَ
وَصِلِ اْلأَرْحَامَ وَصَلِّ بِاللَّيْلِ وَالنَّاسُ
نِيَامٌ تَدْخُلُ الْجَنَّةَ
بِسَلاَمٍ
Maknanya: “Berilah
makan, sambunglah tali silaturahim, shalatlah malam ketika orang-orang pada
tidur maka kamu akan masuk surga dengan selamat”
Memutuskan
tali silaturrahim adalah dosa besar. Seseorang dianggap telah memutuskan
tali silaturrahim apabila dia menjadikan hati kerabatnya merasa jauh
dengannya, karena ia tidak sudi memberi bantuan disaat kerabat itu sangat
membutuhkannya atau tidak mau mengunjunginya tanpa ada udzur sedikitpun.
Rasulullah bersabda:
لاَ يَدْخلُ الْجَنَّةَ قَاطِعٌ
Maknanya: “Tidak
akan masuk surge (bersama orang yang pertama kali masuk surga) orang yang
memutuskan tali silaturrahim.
Silaturrahim yang
sempurna adalah apabila seseorang menyambung silaturrahim orang yang
memutuskan tali silaturrahim dengannya. Kita tidak boleh mengatakan: “saudaraku
ini tidak mau mendatangiku maka aku tidak sudi mendatanginya”. “saudaraku ini
jahat dan tidak mau menolongku, maka aku tidak mau menolongnya”. Karena tidak diperkenankan dalam Islam
membalas pemutusan silaturrahim dengan hal yang serupa, sebaliknya kita
harus membalasnya dengan kebaikan dan menyambung tali silaturahim
dengannya. Rasulullah bersabda:
لَيْسَ اْلوَاصِلُ
بِالْمُكَافِئِ وَلَكِنَّ اْلوَاصِلَ
مَنْ وَصَلَهُ إِذَا قَطَعَتْ
Maknanya: “Bukanlah
orang yang menyambung silaturrahim itu orang yang menyambung silaturahim orang
yang memang telah bersambung silaturahimnya, namun orang yang menyambung silaturrahim
adalah orang yang menyambung siltaurrahim orang yang memutuskan silaturrahim
dengannya.” ( HR Muslim)
Hikmah
silaturrahim diantaranya di jelaskan dalam sebuah hadits, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ سَرَّهُ أَنْ يَمُدَّهُ
اللهُ فِي عُمُرِهِ وَيُوْسِعَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ وَيَدْفَعُ
عَنْهُ مِيْتَةَ السُّوْءِ
فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
Maknanya:
Barang siapa yang senang Allah memanjangkan umurnya dan meluaskan rizkinya dan
menolak darinya kematian yang buruk maka hendaknya ia menyambung kerabtnya
(silaturrahim).
Berdasarkan
hadits ini, diketahui bahwa sebagai salah satu amal shalih, silaturrahim
memiliki beberapa hikmah diantaranya, dapat memanjangkan umur, memperluas rizki
dan menghindarkan seseorang dari musibah dan kematian yang buruk.
Namun
hadits di atas tidak berarti bahwa kehendak dan ketentuan (taqdir) Allah dapat
dirubah dengan silaturrahim. Sebab dalam akidah Ahlussunnah Wal Jama’ah
ditegaskan bahwa seluruh sifat Allah azaliyah (tanpa permulaan) dan abadiyah
(tanpa akhiran), tidak berubah-ubah. Sebab berubah adalah tanda terbesar dari
makhluk, dan hanya makhluklah yang disifati dengan sifat baharu yang
berubah-ubah.
Maksud
hadits hikmah silaturrahim di atas adalah qadla mu’allaq. Qadha` mu’allaq adalah ketentuan yang dalam shuhuf
(catatan) malaikat yang telah mereka kutip dari lauh al mahfudz
digantungkan pada do’a, silaturrahim, nadzar atau yang lainnya. Misalnya
dalam shuhuf tersebut tertulis apabila si Fulan berdo’a maka
keinginannya akan terwujud dan apabila tidak berdo’a maka keinginannya tidak
terwujud. Para malaikat tidak mengetahui apa yang akan dilakukan oleh si Fulan
tersebut, apabila ia berdoa maka berarti perbuatannya menolak/merubah salah
satu dari dua qadha` tersebut, dan tidak menolak qadha’ Allah ta’aalaa
yang merupakan sifatnya. Karena Allah ta’alaa telah menentukan pada azal
apa yang akan dilakukan oleh si fulan tersebut.
Qadha` mu’allaq ini juga yang dimaksud dengan firman
Allah dalam surat al Ra’d:
(#qßsôJt ª!$# $tB âä!$t±o àMÎ6÷Vãur ( ÿ¼çnyYÏãur Pé& É=»tGÅ6ø9$# ÇÌÒÈ
Maknanya: “Allah menghapuskan apa yang Dia
kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan pada-Nya-lah terdapat Ummul-Kitab (Lauh
mahfuzh).(QS Al Ra’d: 29)
Qadha` ini pula yang dimaksud oleh sebuah hadits yang diriwayatkan imam Hakim
dan imam Tirmidzi:
لاَ يَرُدُّ اْلقَضَاءَ إلاَّ الدُّعَاءُ
Maknanya: “Tidak ada yang menolak
qadha`(yakni qadha` mu’allaq) kecuali do’a”
Dalam masalah silaturrahim, misalnya: dalam catatan
Malaikat ditulis bahwa apabila pada tahun ini Zaid bersilaturrahim maka umurnya
63 tahun, namun apabila dia tidak silaturrahim maka umurnya 50 tahun
(meninggal pada tahun ini). Malaikat tidak mengetahui apa yang akan diperbuat
oleh Zaid (silaturrahim atau tidak), sehingga bagi malaikat ketentuan
umur si Zaid masih mu’allaq (digantungkan) pada perbuatan yang akan
dilakukan oleh Zaid. Namun Allah telah menentukan perbuatan yang akan dipilih
Zaid dan umurnya.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa qadha’ mu’allaq tidak
berarti bahwa qadha` Allah bisa berubah. Namun dalam pengetahuan
Malaikat dalam catatannya, Allah memberikan pilihan kepada manusia untuk
melakukan perbuatan-perbuatan tertentu yang menjadi sebab terwujudnya sesuatu
yang diinginkan oleh manusia seperti berdo’a, silaturrahim, sedekah,
bekerja keras, rajin belajar dan seterusnya, sehingga apa yang diinginkan oleh
manusia berupa umur panjang, kebahagian, bebas dari musibah, kaya, pandai dan
seterusnya dapat terwujud. Meskipun dalam pengetahuan Allah, Allah telah
mengetahui dan menentukan pilihan manusia tersebut dan sesuatu yang terjadi
padanya.
Adapaun firman Allah ta’aalaa:
3 cÎ) ©!$# w çÉitóã $tB BQöqs)Î/ 4Ó®Lym (#rçÉitóã $tB öNÍkŦàÿRr'Î/ 3 ÇÊÊÈ
Maknanya
:“Sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan suatu qoum sebelum
mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri,” (QS. al-Ra’d:11)
Ayat ini tidak
menunjukkan bahwa taqdir Allah bisa berubah, tetapi ayat tersebut juga
terkait dengan qadha’ mu’allaq, bahwa apabila
suatu kaum menginginkan sebuah perubahan pada diri mereka maka mereka harus
melakukan sebab-sebab yang bisa menghantarkan pada perubahan tersebut, yaitu
dengan beriman kepada Allah ta’aalaa. Allah telah mengetahui terhadap sesuatu
yang akan dilakukan oleh kaum tersebut (melakukan perubahan dari kufur ke iman
atau tidak), tetapi bagi Malaikat perubahan keadaan mereka masih mu’allaq (tergantung)
pada apabila mereka mau melakuan perubahan yang dalam hal ini adalah beriman
kepada Allah ta’aalaa.
0 komentar:
Posting Komentar