Momentum Peringatan Isra` Mi’raj
Untuk
Meningkatkan Kwalitas Shalat
oleh : Ust. Asy`ari Masduki, MA
Pada peristiwa Mi’raj
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mendengar kalam Allah yang dzati
(bukan bahasa, huruf dan suara). Di antara yang beliau pahami adalah di
syari’atkannya ibadah shalat lima waktu.
Shalat lima waktu adalah perbuatan
yang paling mulia dan kewajiban yang paling wajib setelah iman kepada Allah dan
Rasul-Nya. Shalat adalah ibadah yang sangat agung, barang
siapa yang melaksanakannya dengan sempurna maka dia akan mendapatkan pahala
yang sangat besar, Allah akan memasukkannya ke dalam surga, melimpahkan
pengampunan, rahmat, keberkahan dan derajat yang sangat tinggi kepadanya. Rasulullah
–shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
خَمْسُ صَلَوَاتٍ
كَتَبَهُنَّ اللهُ عَلَى اْلعِبَادِ مَنْ أَتَى بِهِنَّ بِتَمَامِهِنَّ كَانَ لَهُ
عِنْدَ اللهِ عَهْدٌ أَنْ يُدْخِلَهُ الْجَنَّةَ وَمَنْ لمَ يَأْتِ بِهِنَّ فَلَيْسَ
لَهُ عِنْدَ اللهِ عَهْدٌ أنْ يُدْخِلَهُ الجنَّةَ إِنْ شَاءَ عَذَّبَهُ إِنْ شَاءَ
أَدْخَلَهُ الجنَّةَ
“Allah telah
mewajibkan 5 shalat terhadap para hamba-Nya, barang siapa yang melaksanakannya
dengan sempurna maka Allah berjanji kepadanya untuk memasukkannya ke dalam
surga dan barang siapa yang tidak mau melaksanakannya, maka Allah tidak
berjanji kepadanya untuk memasukkannya ke dalam surga, apabila Allah
berkehendak mengadzab maka Ia akan mengadzabnya dan jika Ia berkehendak memasukkannya
ke dalam surga maka Ia memasukkannya ke dalam surga” (H.R Ahmad)
Momentum
peringatan Isra’ dan Mi’raj sudah seharusnya apabila digunakan sebagai tonggak
untuk meningkatkan kwalitas shalat. Modal dasar shalat yang berkwalitas adalah
apabila
dikerjakan dengan benar, sesuai dengan syarat dan rukunnya. Namun,
lebih dari itu shalat tersebut juga harus memenuhi syuruth
qabul as shalah (syarat diterimanya shalat), yaitu:
1. Ikhlash
Ikhlas dalam shalat artinya
menjalankan shalat hanya semata-mata karena Allah (untuk mencari ridha Allah
-pahala dan surga Allah- atau untuk menjalankan kewajiban dari Allah), bukan karena
manusia (untuk mencari pujian, penghormatan, kemasyhuran dari manusia).
Allah mengancam dengan adzab yang sangat
pedih kepada orang-orang yang mengerjakan shalat dengan tidak ikhlas atau
dengan riya’. Allah ta’ala berfirman:
فويل للمصلين الذين هم عن صلاتهم ساهون الذين
هم يراءون ويمنعون الماعون
“Maka kecelakaanlah bagi
orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang
yang berbuat riya, dan enggan (menolong dengan) barang berguna” (Q.S al
Maa’uun: 4-7)
2. Makanan,
Pakaian
dan tempat shalat mesti halal
Kesempurnaan shalat seseorang juga
ditentukan oleh makanan yang ada di dalam perutnya ketika shalat, serta pakaian
dan tempat yang digunakan untuk melaksanakan shalat, seluruhnya harus berasal
dari rizki yang halal. Seseorang yang menjalankan shalat, sedangkan di dalam perutnya
masih ada makanan yang haram (misalnya hasil riba, curian, atau korupsi),
maka shalatnya tidak akan diterima oleh Allah. Demikain juga seseorang yang
menjalankan shalat dengan menggunakan pakain yang haram
atau ditempat yang dia ghashab (diambil dengan batil dari orang lain), maka
shalatnya tidak membuahkan pahala dari Allah ta’ala.
Dengan demikian,
sangat
penting bagi setiap muslim untuk mencari rizki yang
halal. Karena
makanan yang haram selain dapat menghilangkan pahala shalat, makanan haram juga
dapat merubah
hati seseorang
menjadi hitam dan keras, sehingga sulit untuk dapat menerima hidayah, taufik,
nasehat serta kebaikan.
3. Khusyu’
meski hanya sebentar
Kekhusyu’an ketika shalat juga menentukan
kwalitas shalat seseorang.
Semakin
lama seseorang khusyu’ di dalam
shalatnya, maka
semakin banyak pahala shalatnya. Sebaliknya, semakin sedikit khusyu’nya maka semakin sedikit pula pahala
shalatnya. Khusyu’ artinya menghadirkan rasa cinta,
takut atau pengagungan kepada Allah di dalam hati ketika menjalankan
shalat. Khusyu’ bukan berarti
membayangkan atau memikirkan dzat Allah, karena Allah tidak serupa dengan
makhluk-Nya, Allah bukan benda dan tidak disifati dengan sifat benda, sehingga
Allah tidak dapat dibayangkan dan tidak terjangkau oleh akal manusia. Imam
Ahmad bin Hanbal dan al imam Dzun Nun al Mishriy mengatakan:
مَهْمَا تَصَوَّرْتَ بِبَالِكَ فَاللهُ بِخِلَافِ
ذَلِكَ
“Apapun yang terlintas dalam hati
kamu tentang Allah maka Allah tidak seperti itu”
(Diriwayatkan oleh Abu al Fadl at Tamimi dan al Khathib al Baghdadi)
Orang yang khusyu’ dalam shalatnya,
dia akan mendapatkan keberuntungan di akhirat. Allah ta’ala berfirman:
قَدْ أَفْلَحَ اْلمُؤْمِنُوْنَ الَّذِيْنَ هُمْ
فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُوْنَ
“Sungguh
beruntung orang-orang yang beriman, yaitu mereka yang dalam
shalatnya khusyu” (Q.S al Mukminun: 1-2)
Setidaknya ada dua cara yang dapat dilakukan
untuk menghadirkan kekhusyu’an
dalam hati, yaitu:
a.
Menghayati makna bacaan yang
sedang dibaca, karena seluruh bacaan yang ada di dalam shalat baik berupa
ayat-ayat al Qur’an maupun do’a-do’a mengandung makna cinta, takut, pengagungan
dan ketundukan kepada Allah ta’ala.
b.
Menanamkan keyakinan dalam hati -sesaat
sebelum memulai shalat-, bahwa shalat yang akan ia kerjakan adalah shalat yang
terakhir dan dia akan mati setelahnya. Dengan begitu diharapkan akan muncul
perasaan takut yang mendalam kepada adzab Allah ta’ala di akhirat, dan harapan yang tulus terhadap
ampunan Allah ta’ala.
0 komentar:
Posting Komentar