MENYEMBELIH BINATANG KURBAN SUNNAH MU'AKKADAH
oleh : Ust. Asy`ari Masduki, MA
إِنَّا
أَعْطَيْنَا كَ الْكَوْثَرِ فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ
اْلأَبْتَرُ
"Sesungguhnya
kami telah memberikan kepadamu telaga kautsar. Maka dirikanlah shalat karena
Tuhanmu dan berkurbanlah. Sesungguhnya orang-orang yang memebenci kamu dialah
yang terputus (dari rahmat Allah) (QS. al-Kautsar: 1-3)
Islam adalah agama mulia yang diridlai Allah, agama yang sarat dengan
nilai-nilai kebaikan dan kemuliaan. Dan selalu menganjurkan pemeluknya untuk
menghiasi diri mereka dengan budi pekerti yang mulia, suka berderna dan
istiqamah dalam beramal baik. Salah satu kebaikan yang dibjurkan oleh Rasul
adalah menyembelih binatang kurban atau dalam istilah fiqih dikenal dengan
sebutan "al-Udlhiyyah". Menyembelih binatang kurban hukumnya
sunnah, sebagaimana sabda Rasulullah yang diriwayatkan Anas:
كَانَ يُضَحِّيْ بِكَبْشَيْنِ أَمْلَحَيْنِ أَقْرَنَيْنِ
"Sesungguhnya
Rasulullah pernah berkurban dengan 2 ekor domba yang amlah (berwarna hitam
keputihan) dan bertanduk. (Muttafaq ‘alaihi)
Itulah sebabnya jumhur ulama (mayoritas ulama)
berpendapat bahwa menyembelih binatang kurban adalah sunnah mu'akkadah (sunnah
yang sangat dianjurkan) dan senantiasa dikerjakan Rasulullah terutautama bagi
orang mampu. Diantara para ulama yang mendukung pendapat ini adalah Abu Bakar
al-Shiddiq, Umar ibn al-Khattab, Bilal Abu Mas'ud al-Badr, Sa'id ibn
al-Musyyab, Atha', al-Aswad, al-Syafi'i, Malik, Ahmad, Abu Yusuf, Abu Tsaur,
al-Muzani, Dawud dan Ibn al-Mundzir. Hukum sunnah ini berlaku bagi mereka yang
sedabg malakukan ibadah haji di Makkah dan bagi umat islam diseluruh pelosok
dunia.
Banyak
sekali hadits yang menjelaskan tentang fadilah atau keutamaan berkurban,
diantaranya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Sayyidah Aisyah:
ضَحُّوْا وَطَيِّبُوْا أَنْفُسَكُمْ فَإِنَّهُ
مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَسْتَقْبِلُ بِذَبِيْحَتِهِ اْلقِبْلَةَ إِلَّا كَانَ دَمُهَا
وَفَرَثُهَا وَصُوْفُهَا حَسَنَاتٍ فِيْ مِيْزَانِهِ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ
"Rasul telah
bersabda: "Sembelihlah kurban dan hiasilah diri kalian, karena
sesungguhnya tidaklah seorang muslim menghadap kurbannya ke arah kiblat
melainkan darah, kotoran dan bulu binatang tersebut akan menjadi timbangan
kebaikannya pada hari kiamat".
Disunnahkan bagi
yang berkurban karena menjalankan kesunnahan (bukan nadzar) untuk membagi
dagingnya menjadi 3 bagian: 1/3 untuk dimakan sediri, 1/3 untuk dihadiahkan dan
1/3 lagi untuk disedekahkan. Tapi jika ia bagikan semuanya kepada fakir miskin
juga tidak apa-apa.
Perlu
diketahui bahwa hadits yang berbunyi:
مَنْ
كَانَ لَهُ سَعَةٌ وَلَمْ يُضَحِّ فَلَا يَقْرَبَنَّ
مُصَلاَّنَا
"Barang siapa yang telah mampu berkurban tapi
ia enggan malaksanakannya maka ia dilarang mendatangi tempat ibadah kita".
Hadits tersebut tidaklah tsabit (tidak shahih), sebagaimana pendapat al-Nawawi
dalam kitab la-Majmu'.
Kriteria binatang
kurban yaitu: barupa domba yang telah berumur satahun, atau kambing kacangan
betina (kambing jawa) yang telah berumur 2 tahun, atau onta yang berumur 5
tahun, dan atau sapi yang telah berumur 2 tahun masuk tahun ketiga. Ketentuan
ini berdasarkan hadits berikut:
لَا
تَذْبَحُوْا إِلَّا مُسِنَّةً إِلَّا أَنْ تَعَسَّرَ عَلَيْكُمْ فَتَذْبَحُوْا جَذَعَةً
مِنَ الضَّأْنِ
"Janganlah
kalian menyembelih kurban kecuali berupa sapi yang telah berumur 2 tahun, akan
tetapi jika kalian mendapatkan kesulitan maka sembelihlah domba yang berumur
setahun". (HR Muslim)
Binatang
yang dijadikan kurban hendaklah terbebas dari cacat seperti bermata juling,
sakit atau pincang, karena apabila terdapat cacat-cacat tersebut dan tampak
dengan jelas maka binatang tersebut tidak sah untuk dijadikan kurban.
Pelaksanaan kurban dapat dilakukan
setelah shalat Ied al-Adha tepatnya setelah shalat 2 rekaat dan 2 khutbah, dan
berakhir setelah tenggelamnya matahari pada hari ketiga hari tasyriq (3 hari
setelah Ied al-Adha). Oleh karenanya tidak dibenarkan menyembelih binatang
kurban sebelum shalat Ied, sebagaimana hadits Rasulullah:
مَنْ ذَبَحَ قَبْلَ الصَّلَاةِ فَلْيَذْبَحْ شَاةً مَكَانَهَا وَمَنْ
لَمْ يَكُنْ ذَبَحَ فَلْيَذْبَحْ عَلَى اسْمِ اللهِ
"Barang siapa menyembelih kurban sebelum
shalat maka hendaknya dia menyembelih kambing sebagai gantinya dan barang siapa
belum menyembelihnya maka hendaknya dia menyembihnya atas nama Allah ".
(HR. Bukhari dan Muslim)
Para ulama Syafi'iyyah berpendapat bahwa menjual
bagian dari binatang kurban baik yang dilakukan karena nadzar atau yang hanya
menjalankan ibadah sunnah adalah dilarang. Pendapat mereka berdasarkan sabda
Rasulullah yang diriwayatkan oleh Sayyidina Ali:
أَمَرَنِيْ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ
أَقُوْمَ عَلَى بُدْنِهِ وَأَنْ أُقَسِّمَ لُحُوْمَهَا وَجُلُوْدَهَا وَجَلَالَهَا
عَلَى اْلَمسَاكِيْنِ وَلَا أُعْطِيَ فِي جَزَارَتِهَا شَيْئًا مِنْهَا
"Rasulullah menyuruh saya (Ali) untuk
mengurusi benatang kurbannya hingga saya membagi-bagikan daging dan kulitnya,
dan melarang saya memberi (upah) tukang sembelih sesuatupun dari binatang
tersebut dan beliau berkata: "kita memberinya dari milik kita
sendiri". (HR. Bukhari dan Muslim)
Menurut hadits di atas, dilarang memberikan kulit
atau bagian yang lain dari binatang kurban tersebut sebagai imbalan bagi tukang
sembelihnya. Hal itu berbeda jika seandainya kulit tersebut diberikan kepadanya
sebagaisedekah atau dimanfaatkan untuk kepentingan lain. Hewan kurban tersebut
seyogyanya disembelih dimana orang yang berkurban berada (meskipun sedang dalam
perjalanan), dan sebaiknya desembelih di rumahnya sendiri dengan disaksikan
oleh keluarganya.
Cerita tentang kurban berawal dari
mimpi Nabi Ibrahim bahwa ia menyembelih kepada anaknya Ismail. Allah ta'ala
berfirman mengisahkan perkataan Nabi Ibrahim kepada anaknya:
قَالَ
يَا بُنَيَّ إِنّي أَرَى فِي المَنَامِ أَنّي أَذْبَحُكَ
"Sesungguhnya
aku bermimpi dalam tidurku bahwa aku menyembeilhmu". (QS. al-Shaffat: 102)
Qatadah berkata: "mimpi para
Nabi adalah benar, apabila mereka milhat sesuatu dalam mampinya niscaya mereka
akan melakukannya".
Para
ahli sejarah dan tafsir menyebutkan bahwasanya Ibrahim ketika hendak
menyembelih anaknya, ia berkata: "Bergegaslah, kita akan berkurban karena
Allah ta'ala". Ibrahimpun mengambil pisau dan tali, kemudian mereka
berggas pergi menelusuri pegunungan, sang anak berkata: "Wahai ayah
dimanakah sesembelihanmu". Ibrahim menjawab: "Sesungguhnya aku
melihat dalam tidurku bahwa aku menyembelihmu". Ismail berkata kepada
ayahnya: "ikatlah aku dengan kuat supaya aku tidak bergerak-gerak, jauhkan
pakaian ayahku dariku agar tidak terkena darah sehingga membuat ibu sedih jika
melihatnya, irislah leherku dengan cepat dan sesampainya ayah di rumah
sampaikan salamku padanya". Ibrahim tidap dapat membendung keharuannya,
sambil mencium anaknya dan diiringi tetesan air mata ia berkata: "Engkau
sebaik-baik penolong dalam beribadah kepada Allah, wahai anakku". Kemudian
Ibrahim mulai menggesekkan pisaunya di leher Ismail, tetapi tetap tidak dapat
melukainya.
Mujahid berkata: "ketika pisau
tersebut di gesekkan di atas leher Ismail tiba-tiba pisau tersebut berbalik
(yang tumpul berada di bawah), Ismali berkata: "apa yang terjadi ayah ?,
Ibrahim berkata: "pisaunya berbalik". Ismail menyahut: "tusukkan
saja pisau itu".
Tiba-tiba terdengar panggilan
"wahai Ibrahim, apa yang kau lihat dalam mimpimu adalah benar dan ini
sebagai ganti anakmu". Ketika Ibrahim melihat ke atas, tampak olehnya
Jibril sedang membawa domba. Allah berfirman:
وَفَدَيْنَاهُ بِذَبْحٍ عَظِيْمٍ
"Dan kami menggantinya dengan domba yang
besar". (QS. al-Shaffat: 107)
Allah
telah membebaskannya dari perintah menyembelih anaknya dengan menggantikannya
domba yang bertanduk, besar dan penuh berkah.
Begitu besar keikhlasan Ibrahim
beserta Ismail, sehingga cerita mereka dikisahkan dalam al-Qur'an dan menjadi
pelajaran berharga bagi insan bertaqwa dan mereka yang mau merenungkannya. Kita
dianjurkan untuk senantiasa pasrah, tawakkal dan taat pada Allah dalam keadaan
bagaimanapun. Karena kita yakin semua adalah milikNya dan Dia-lah yang berhak
menentukannya.