INGAT MATI KUNCI
KEBAHAGIAN SETELAH MATI
Ust. Asy’ari
Masduki, MA
Mati adalah perkara yang pasti, tidak seorangpun manusia yang dapat menghindarinya. Allah ta’ala berfirman:
كُلُّ
نَفْسٍ ذَائِقَةُ اْلَموْتِ
“Setiap orang pasti
merasakan kematian”(Q.S Ali Imran: 185)
Sepanjang apapun umur seseorang pasti
berujung pada kematian juga. Dalam sebuah
syair arab dikatakan:
اللَيْلُ
مَهْمَا طَالَ لَا بُدَّ مِنْ طُلُوْعِ اْلفَجْرِ
وَاْلعُمُرُ
مَهْمَا طَالَ لَابُدَّ مِنْ دُخُوْلِ الْقَبْرِ
“Malam meskipun panjang pasti ujungnya terbit fajar, umur meskipun panjang pasti ujungnya masuk kubur”
Karena
kematian merupakan sesuatu yang pasti,
maka Rasulullah memerintahkan
kepada kita untuk selalu mengingatnya. Beliau bersabda:
أَكْثِرُوْا
مِنْ ذِكْرِ هَاذِمِ الَّلذَاتِ
“Perbanyaklah
mengingat sesuatu yang memutuskan kelezatan (yaitu mati)”(H.R at Tirmidzi dan Nasai)
Dengan
ingat mati seseorang akan
termotifasi untuk lebih semangat dalam berbekal menghadapinya, yaitu dengan meningkatkan ketaqwaaan.
Karena bekal kematian adalah taqwa, bukan harta dan jabatan.
Sebagai seorang yang cerdas, tentu kita akan lebih mempersiapkan sesuatu
yang sudah pasti (yaitu mati) dari pada mempersiapkan hari tua yang belum
tentu akan kita jalani. Rasulullah
bersabda:
الْكَيِّسُ
مَنْ دَانَ نَفْسَهُ وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ اْلمَوْتِ
“Orang yang cerdas adalah
orang yang dapat mengalahkan hawa nafsunya dan beramal untuk kepentingan setelah
mati"
Kehidupan
setelah mati adalah abadi tidak seperti kehidupan dunia yang hanya sementara.
Karena itu hendaknya kita lebih mengutamakan untuk membangun rumah di kehidupan yang
abadi tersebut dari pada membangun rumah di kehidupan dunia
yang singkat ini. Membangun rumah di akhirat adalah dengan menjalankan seluruh aturan syari’at Allah ta’ala.
Jangan sampai kita terlena dengan kenikmatan dunia yang sesaat, dan melupakan
kehidupan akhirat yang abadi. Dalam sebuah syair arab dikatakan:
لَا دَارَ
لِلْمَرْءِ بَعْدَ اْلمَوْتِ يَسْكُنُهَا
إِلَّا اَّلتِيْ كَانَ قَبْلَ اْلمَوْتِ بَنِيْهَا
فَإِنْ
بَنَاهَا بِخَيْرٍ طَابَ مَسْكَنُهُ وَإِنْ
بَنَاهَا بِشَرٍّ خَابَ بَانِيْهَا
“Tidak
ada rumah bagi seseorang yang dia tempati setelah mati kecuali rumah yang telah
dia bangun sebelum mati. Apabila dia membangunnya dengan kebaikan maka rumahnya
akan baik, dan apabila dia membangunnya dengan keburukan maka celakalah orang
yang membangunnya”
Forum
Tanya Jawab
1.
Bagaimana
caranya agar selalu dapat ingat mati?
Semakin sering
seseorang ingat mati maka semakin siap dia untuk menghadapi mati, sebaliknya
semakin jarang seseorang ingat mati maka semakin tidak siap untuk menghadapi
mati. Lebih celaka lagi, apabila seseorang tidak pernah
ingat mati, maka dipastikan dia akan masuk ke dalam kubur tanpa membawa bekal
sedikitpun. Padahal sayyidina Abu
Bakar mengatakan:
مَنْ دَخَلَ
اْلقَبْرَ بِلَا زَادٍ فَكَأَنَّمَا رَكِبَ اْلبَحْرَ بِلاَ سَفِيْنَةٍ
“Barang siapa yang masuk kubur tanpa membawa bekal maka dia
seperti orang yang mengarungi lautan tanpa dengan menggunakan perahu”
Agar seseorang dapat semakin sering
mengingat mati dan akhirat maka disunnahkan bagi seorang
muslim untuk sesering mungkin menjenguk orang yang sakit, bertakziyah
ketika ada orang yang meninggal dan melakukan
ziarah kubur, Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
زُوْرُوْا اْلقُبُوْرَ فَإِنَّهَا تُذَكِّرُكُمُ
بِالآخِرَةِ
“Berziarah kuburlah kalian karena sesungguhnya
ziarah kubur itu dapat mengingatkan kalian terhadap akhirat” (H.R
al Baihaqi)
2.
Apabila
terus menerus ingat mati, kapan seseorang dapat bekerja?
Perlu
dipahami bahwa ingat mati tidak identik dengan kemalasan dalam bekerja, juga
tidak berarti lemas, lunglai dan tidak berdaya. Justru sebaliknya ingat mati
merupakan energi yang sangat dahsyat untuk menggerakkan semangat seseorang
untuk bekerja keras dan beribadah lebih giat dalam rangka berbekal untuk akhirat.
Hendaknya disadari bahwa
bekal akhirat adalah taqwa (menjalankan kewajiban dan meninggalkan larangan Allah). Menjalankan kewajiban merupakan bekal yang
paling utama bagi seseorang di akhirat, lebih besar nilainya dari pada menjalankan
hal-hal yang sunnah, dalam sebuah hadits Qudsi Allah ta’ala berfirman:
وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِيْ بِشَيْءٍ أَحَبَّ
إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ
“Tidaklah
hambaku mendekatkan diri kepadaku (dekat rahmah bukan jarak) dengan sebuah perbuatan
yang lebih aku cintai dari sesuatu yang telah aku wajibkan”(H.R al Bukhari)
Perlu
diketahui bahwa kewajiban yang harus dijalankan oleh setiap muslim tidak
terbatas pada shalat lima waktu, puasa Ramadhan atau lainnya. Namun kewajiban
seorang muslim juga meliputi memberi nafkah kepada istri dan anak, anak yatim dan orang-orang lemah lainnya, membiayai dakwah Islam dan
seterusnya. Semua kewajiban ini apabila
dijalankan, maka akan
menghasilkan pahala yang sangat besar dan dapat digunakan sebagai bekal
kematian. Sebaliknya apabila hal-hal tersebut tidak dilakukan maka akan
menjadikan seseorang celaka di akhirat. Dengan demikian, ingat mati berarti bekerja keras, bukan berarti malas, lemas dan tak
berdaya.
3.
Apa
makna bacaan takbiratul Ihram?
Salah
satu cara untuk menuai khusyu’ dalam shalat adalah dengan menghayati
makna bacaan-bacaan shalat. Sehingga hendaknya setiap orang selalu berusaha
untuk mempelajari makna-makna bacaan shalat tersebut dengan benar. Karena
apabila seseorang salah dalam memahami bacaan-bacaan shalat maka akibatnya akan
sangat fatal. Di antara bacaan-bacaan
shalat yang sering disalahpahami maknanya adalah bacaan takbiratul ihram
(Allahu Akbar).
Allahu
Akbar maknanya adalah aku meyakini dan mengakui bahwa Allah adalah dzat
yang paling besar kemulyaan, derajat dan
keagungannya, bukan besar dari segi bentuk dan ukurannya. Karena bentuk dan
ukuran adalah salah satu sifat makhluk, dan Allah tidak boleh disifati dengan
sifat makhluk. Sebab apabila Allah disifati dengan sifat makhluk-Nya niscaya
dia serupa dengan makhluk-Nya, padahal secara akal tidak mungkin Allah (sang
pencipta) serupa dengan makhluk yang diciptakannya. Allah ta’ala berfirman:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ
“Tidak
ada sesuatu yang serupa dengan Allah (dari satu segi maupun semua segi dan
Allah tidak serupa dengan sesuatupun dari makhlukNya dari satu segi maupun
semua segi)” (Q.S as Syura: 11)
Sayyidini
Ali –Radhiyallahu ‘anhu menegaskan:
مَنْ زَعَمَ أَنَّ إِلَهَنَا مَحْدُوْدٌ فَقَدْ
جَهِلَ الْخَالِقَ اْلمَعْبُوْدَ
"Barang
siapa beranggapan (berkeyakinan) bahwa Tuhan kita
berukuran maka ia tidak mengetahui Tuhan yang wajib disembah (belum
beriman kepada-Nya)" (diriwayatkan oleh Abu Nu'aym (W. 430 H) dalam Hilyah
al Auliya', juz I hal. 72).